Pengertian
Ketahanan
nasional adalah kondisi dinamika, suatu bangsa yang berisi keuletan dan
ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang
datang dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak langsung
yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa
dan negara.
Dalam perjuangan mencapai cita-cita/tujuan nasionalnya bangsa Indonesia tidak terhindar dari berbagai ancaman-ancaman yang kadang-kadang membahayakan keselamatannya. Cara agar dapat menghadapi ancaman-ancaman tersebut, bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan, keuletan, dan daya tahan yang dinamakan ketahanan nasional. Salah satu aspek ketahan nasional adalah di bidang pangan.
Dalam perjuangan mencapai cita-cita/tujuan nasionalnya bangsa Indonesia tidak terhindar dari berbagai ancaman-ancaman yang kadang-kadang membahayakan keselamatannya. Cara agar dapat menghadapi ancaman-ancaman tersebut, bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan, keuletan, dan daya tahan yang dinamakan ketahanan nasional. Salah satu aspek ketahan nasional adalah di bidang pangan.
Indonesia
memiliki alam sub tropis yang amat subur, sumber daya agraris kita memang bisa
berlimpah apabila dikelola dengan benar. Tetapi ironisnya sebagai salah satu
Negara yang dikaruniai sumberdaya alam melimpah malah justru memiliki masalah
serius mengenai ketahanan pangan dalam negeri. Kemandirian dan ketahanan pangan
dalam negeri kita memang sangat rentan karena ketergantungan pasokan dari luar
negeri.
BERIKUT MERUPAKAN FACTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI MENURUNNYA KETAHANAN PANGAN NASIONAL:
1. Konsumsi
Import Menurunkan Ketahanan Pangan Nasional
Menurut data statistik nasional
kebutuhan pasokan pangan import antara lain 100% untuk gandum masih dari luar,
60% untuk kedelai dari total kebutuhan masih import, 70% untuk susu dari total
kebutuhan masih import, 54% untuk gula dari total kebutuhan masih import, 30%
untuk daging sapi dari total kebutuhan masih import, 11% untuk beras dari total
kebutuhan masih import, dan 5% untuk jagung dari total kebutuhan masih
import. Ketahanan Pangan Nasional
Dari angka angka tersebut bisa
diperkirakan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah masih belum optimal untuk
mengatasi kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Tapi setidaknya ada kabar
baik di tahun tahun kedepan bahwa ada target di pemerintah untuk mengembangkan
5 komoditas pangan strategis yaitu beras, kedelai, gula, jagung, dan daging
sapi. Ketahanan Pangan Nasional
2. Melemahnya
Sektor Pertanian Sebagai Tulang Punggung Ketahanan Pangan Nasional
Tantangan yang dihadapi sektor pertanian
akan semakin berat, karena harus bisa mengatasi masalah kesejahteraan petani
yang semakin terpinggirkan karena tekanan harga barang import dan melambungnya
harga pupuk.
Dengan lesunya sektor pertanian membuat
semakin banyaknya lahan pertanian yang mulai beralih fungsi. Banyak lahan yang
seharusnya menjadi tempat pertanian karena sudah ada fasilitas irigasi tetapi
menjadi area pemukiman. Atau juga banyaknya lahan yang seharusnya lahan
produktif tetapi sekarang menjadi lahan tidur karena alasan tidak seimbangnya
pendapatan produksi dengan modal produksi. Ketahanan Pangan Nasional
3. Politik
Pangan Dan Hubungannya Dengan Ketahanan Pangan Nasional
Politik pangan dalam negeri yang terlalu
pragmatis dan hanya memihak pada konsumen, membuat mudahnya barang import masuk
hanya untuk memenuhi atau menutup kebutuhan domestik tanpa memikirkan dampaknya
pada sektor produksi pangan dalam hal ini pelaku pertanian. Padahal merekalah
yang pertama kali dirugikan apabila tidak ada pengaturan secara bijaksana dari
pemerintah pusat. Ketahanan Pangan Nasional
UPAYA PERBAIKAN SEKTOR PERTANIAN UNTUK
MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Untuk meningkatkan ketahanan pangan
setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah antara lain adalah
:
Ø Peningkatan
kesejahteraan petani, reformasi agraria, untuk menghindari pemusatan
kepemilikan lahan produktif agar para buruh tani yang jumlahnya lebih banyak
bisa menjadi petani mandiri juga.
Ø Pengaturan
kebijaksanaan import bahan pangan pokok untuk melindungi pasar domestik dari
serbuan dumping harga dari luar dalam hal ini spekulan.
Ø Optimalisasi
lahan pertanian terutama daerah dekat irigasi.
Ø Perbaikan
sarana pertanian terutama aliran irigasi.
Ø Mencegah
konversi atau alih fungsi lahan produksi pertanian.
Ø Memberdayakan
kembali lahan yang tidur agar kembali produktif.
Ø Mendorong
percepatan perluasan lahan pertanian tanaman pangan.
Ø Peningkatan
mutu produktifitas atau intensifikasi seperti penggunaan benih unggul,
pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu, dan efisiensi pemanfaatan air.
Ø Perbaikan
pasca panen.
Ø Percepatan
diversifikasi konsumsi pangan.
Menurut kajian Badan Pangan Dunia bahwa
ketergantungan pasokan pangan import bagi negara berpenduduk lebih besar dari
100 juta, akan membuat bangsa itu susah maju dan mandiri. Kita berharap
pemerintah saat ini tahu akan hal ini dan semoga ada rencana kedepan yang lebih
baik untuk memajukan kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
PERMASALAHAN PRODUKSI DAN
UPAYA MENGATASI MASALAH PANGAN NASIONAL
Rendahnya laju peningkatan produksi
pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
Ø Produktivitas
tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun;
Ø Peningkatan
luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan
pertanian pangan produktif di pulau Jawa.
Kombinasi kedua faktor di atas
memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus
menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu
dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam
kerangka program ketahanan pangan nasional.
Berikut adalah cara untuk mengatasinya :
1. Upaya
Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan
Rata-rata produktivitas tanaman pangan
nasional masih rendah. Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton/ha (Purba S
dan Las, 2002) jagung 3,2 ton/ha dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibanding dengan
negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di
Indonesia ada pada peringkat ke 29. Australia memiliki produktivitas rata-rata
9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina 6,35 ton/ha ( FAO, 1993).
Faktor dominan penyebab rendahnya
produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di
lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun
(Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih
belum optimal (Guedev S Kush, 2002).
Untuk mengatasi permasalahan di atas
pemerintah harus memberikan subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan
stakeholder dalam melakukan percepatan perubahan (Saragih, 2003). Subsidi
teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi petani untuk memperoleh atau
dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya sehingga teknologi
budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya.
Sebagai contoh petani dapat memperoleh dan penerapan teknologi produktivitas
organik hayati (misal : Bio P 2000 Z), benih/pupuk bermutu dan mekanisasi pasca
panen dan sekaligus pengawalan pendampingannya.
2. Upaya
Menambah Perluasan Lahan Pertanian Baru
Sulitnya melakukan peningkatan produksi
pangan nasional antara lain karena pengembangan lahan pertanian pangan baru
tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi
fungsi lain seperti permukiman. Lahan irigasi Indonesia sebesar 10.794.221
hektar telah menyumbangkan produksi padi sebesar 48.201.136 ton dan 50 %-nya
lebih disumbang dari pulau Jawa (BPS, 2000). Akan tetapi mengingat padatnya
penduduk di pulau Jawa keberadaan lahan tanaman pangan tersebut terus mengalami
degradasi seiring meningkatnya kebutuhan pemukiman dan pilihan pada komoditi
yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti hortikultura. Jika tidak
ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas secara nyata dan/atau membuka
areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi pangan dalam negeri tidak akan
mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.
Dari sisi perluasan areal lahan tanaman
pangan ini upaya yang dapat ditempuh adalah: (1) Memanfaatkan lahan lebak dan
pasang surut termasuk di kawasan pasang surut (2) Mengoptimalkan lahan tidur
dan lahan tidak produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak harus di
barengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan
tersebut tidak subur untuk tanaman pangan.
Melihat kenyataan di atas maka solusi
terbaik adalah: (1) pemerintah sebaiknya memberikan ijin legal atas hak
pengelolaan lahan yang telah diusahahan petani yaitu semacam HGU untuk usaha
produktif usaha tani tanaman pangan sehingga petani dapat memberikan kontribusi
berupa pajak atas usaha dan pemanfaatan lahan tersebut, (2) memberikan
bimbingan teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi organik dan
Bio/hayati guna meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan dan (3) Melibatkan stakeholder dan swasta
yang memiliki komitmen menunjang dalam sistem Agribisnis tanaman pangan
sehingga akan menjamin kepastian pasar, Sarana Input teknologi produktivitas
dan nilai tambah dari usaha tani terpadunya. Pengelolaan lahan kering untuk
pertanian dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi produktivitas organik
agar memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produksi pangan dan
kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh jika 150.000 ha lahan ini digunakan
untuk budidaya Jagung jika dengan tambahan teknologi produktivitas organik
dapat menghasilkan rata-rata 6,5 ton/ha yang dilakukan dengan 2 kali MT maka
akan terjadi penambahan produksi sebesar: 1,95 juta ton jagung, berarti akan
mensubstitusi lebih dari 60% impor Jagung. Multiple effek dari usaha tani
tanaman pangan ini sangat berarti dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani
dan masyarakat sekitar dan bagi kepentingan nasional.
MENCAPAI SWASEMBADA PANGAN UNTUK MEWUUDKAN
KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Membangun Ketahanan pangan
berbasis Agribisnis pangan rakyat di Indonesia perlu mendapatkan
perhatian serius. Pada tahun 1984 swasembada pangan pernah tercapai yang diukir
sebagai prestasi gemilang saat itu, namun tahun-tahun selanjutnya semakin
merosot sehingga upaya-upaya mempertahankan dan mencukupi kebutuhan pangan
nasional semakin terancam. Proyek pembukaan lahan pertanian sejuta hektar lahan
gambut di Kalimantan Tengah, implementasi BIMAS, INSUS, SUPRA INSUS; tampaknya
tidak memberikan manfaat bahkan dalam dasawarsa terakhir kita terjebak dalam
kesejangan pangan dan dengan produksi pangan nasional semakin terancam dan
impor pangan dijadikan sebagai solusi instan. Seharusnyalah dibangun kembali
kerangka pembangunan pertanian berkerakyatan dan
berorientasi kemandirian dan kesejahteraan yang merata di dalam
sistem agribisnis yang terpadu. Masalah penyediaan pangan untuk penduduk harus
dipandang secara utuh, bukan sekedar dinilai secara untung rugi saja tetapi
lebih jauh dicermati pada aspek politik, dan sosialnya karena di dalam
pandangan nasional ketahanan pangan harus merupakan bagian dari ketahanan
nasional.
Menempatkan pangan sebagai bagian
menempatkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme untuk
melindungi, mencintai dan memperbaiki produksi pangan lokal harus terus
dikembang-majukan. Pertanian pangan termasuk di kawasan transmigrasi hendaknya
jangan dipandang sebagai lahan untuk menyerap tenaga kerja atau petani
dikondisikan untuk terus memberikan subsidi bagi pertumbuhan ekonomi sektor
lain dengan tekanan nilai jual hasil yang harus rendah dan biaya sarana
produksi terus melambung. Tetapi seharusnya petani pangan mendapatkan prioritas
perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual dan subsidi produksi karena
petani membawa amanah bagi ketahanan pangan, petani pangan perlu mendapatkan
kesejahteraan yang layak. Dalam hal ini adalah wajar jika pemerintah berpihak
kepada petani dan pelaku produksi pertanian pangan karena merupakan golongan
terbesar dari masyarakat Indonesia.
Kebijakan Impor pangan yang menonjol
sebagai program instant untuk mengatasi kekurangan produksi justru
membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem pembangunan
ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor
seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding
dengan biaya produksinya sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini
menjadikan bertani pangan tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi
lain di luar pertanian, sehingga ketahanan pangan nasional mejadi rapuh.
Melihat kondisi saat ini dan trend
produksi pangan yang semakin tergantung impor dan bergesernya pola konsumsi
masyarakat maka untuk mencapai kemandirian pangan ke depan harus dilakukan
melalui upaya-upaya terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi
pangan nasional yang terencana mulai “presisi” di sektor hulu – proses (on
farm) dan hilirnya. Yang perlu ditekankan adalah: peningkatan
produktivitas dan penerapan teknologi bio/hayati organik, perluasan areal
pertanian pangan dan optimalisasi pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya,
kebijakan tataniaga pangan dan pembatasan impor pangan, pemberian kredit
produksi dan subsidi bagi petani pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan
ketersediaan silo untuk stock pangan sampai tingkat terkecil dalam
mencapai swasembada pangan di setiap daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan
produksi pangan nasional harus ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan
lahan, teknologi, masyarakat dan infrastrukturnya yang dijadikan sebagai
kebijakan ketahanan pangan nasional.
Padi
Dalam kurun waktu satu dasa warsa ke
depan Indonesia harus mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi
masyarakat-nya. Tabel 2 menggambarkan keragaan pemacuan produksi dan
pengurangan impor padi yang dipandang rasional.
Dengan asumsi pertumbuhan penduduk
rata-rata per tahun 1,5 % dan impor beras sekitar 1,5 – 2 juta ton pada tahun
2003 dan produksi dalam negeri sekitar 52 juta ton, maka untuk mencapai swasembada
pada tahun 2010 diperlukan trend peningkatan produksi sebesar 1,8 – 2,1 %
pertahun. Peningkatan ini sangat rasional dan dapat dilakukan dengan melihat
potensi produk-tivitas yang dapat ditingkatkan dan potensi ketersediaan lahan
baru yang dapat dibuka seperti lahan pasang surut, lebak dan lahan kering untuk
padi (Suprihatno, dkk, 1999; Irianto, Gatot, dkk., 2002).
Jagung
Pada tahun 2002 impor jagung mencapai
2,2 juta ton dan sejak tahun 2000 pertumbuhan produksinya menunjukkan trend
yang cenderung negatif. Melihat potensi yang ada bahwa hal upaya memacu
produksi jagung dalam 10 tahun kedepan masih dapat dilakukan, bahkan sekalipun
untuk dapat mencapai surplus (ekspor). Dengan menciptakan tingkat pertumbuhan
produksi 2 % sampai 6,5 %per tahun maka pada tahun 2010 Indonesia akan dapat
mengekspor jagung. Hal ini sangat rasional untuk dapat diwujudkan dan dicapai
mengingat masih banyak lahan tidur dan lahan kering potensial yang dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk dapat meningkatkan produksi jagung. Peluang
penerapan teknologi produktivitas Bio hayati organic dan penerapan benih
hibrida untuk meningkatkan produktivitas dari rata-rata 3,5 ton/ha menjadi
lebih dari 6,5 ton/ha di lahan tersebut masih sangat rasional apalagi
agribisnis jagung telah didukung dengan tersedia dan kesiapan stakeholder dari
hulu sampai hilirnya.
Kedelai
Upaya mendongkrak produksi kedelai
memang berat mengingat ada sekitar 70 % kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor.
Terus membanjirnya impor kedelai tahun 2000 memiliki dampak yang tragis bagi
petani kedelai dan untuk dapat mencapai imbangan impor harus ada perlakuan
khusus dengan mengembalikan kepercayaan petani kembali bertanam kedelai. Upaya
perimbangan impor dan pertumbuhan produksi kedelai jika produksi dapat terus
ditingkatkan secara linear dari 13 % di tahun 2003 terus tumbuh meningkat
hingga 20 % pada tahun 2010. Selama dasawarsa ke depan (2003 – 2013), yang
rasional dilakukan adalah menekan impor dengan substitusi dari produksi dalam
negeri sampai tinggal 10 – 20 % impor. Hal ini relevan dengan kondisi saat ini
dan dapat terjadi jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga yang
layak saat petani panen raya dan menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi
sehingga menurunkan biaya produksinya per satuan hasil.
Menerapkan kebijakan tata niaga kedelai,
pembatasan impor (tarif bea masuk) dan insentif/subsidi bagi petani produsen
dipandang perlu pada komoditas ini karena merupakan komoditi hajat hidup orang
banyak (Inkopti, 2001), jika memang keputusan kemandirian pangan sebagai
keputusan politik untuk ketahanan pangan. Persoalan teknologi produktivitas
kedelai dan lahan sebenarnya bukan lagi sebagai permasalahannya, hanya saja
jika petani tidak diberikan subsidi teknologi, produktivitasnya tetap rendah
(< 1,2 ton/ha) dan biaya produksi per satuan produk menjadi tinggi sehingga
ke depannya tidak dapat bersaing dipasaran bebas. Upaya ini perlu dilakukan
dengan dengan menerapkan kebijakan yang simultan untuk merangsang pertumbuhan
tinggi baik dengan melibatkan stakeholder pelaku bisnis kedelai dari hulu
hingga hilir, teknologi, petani, perbankan dan pemerintah.
Harus diciptakan kondisi yang kondusif
untuk memberikan perlindungan pada petani. Menciptakan dan mewujudkan
kemandirian pangan nasional agar lebih ditekankan pada peran petani serta
stakeholder yang mengawal sistem produksi dari keterjaminan penyediaan
teknologi, sarana produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang
memberikan kemudahan petani pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi
dan fasilitasi penunjang budidaya (seperti infrastruktur untuk pertanian
seperti irigasi dan jalan, dan kredit produksi), perlindungan pasar serta
kebijakan impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian
pangan. Dalam hal ini perlu adanya rencana dan pedoman yang jelas dan
sistematis sebagai komitmen bagi stakeholder khususnya dari pemerintah melalui
Departemen Pertanian dan departemen terkait dalam mewujudkan kemandirian pangan
nasional yang tangguh sebagai keputusan nasional yang didukung oleh pemerintah
daerah sebagai pelaksana di lapangan.
Upaya menciptakan kemandirian pangan
dengan mengembangkan produksi sumber pangan alternatif substitusi pangan impor
dilakukan seiring dengan pemacuan tiga komoditi pangan utama di atas. Sumber
pangan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan untuk substitusi pangan impor
seperti kentang, jagung putih dan umbi-umbian. Mengembangkan sumber pangan
alternatif ini justru memiliki nilai ekonomis tinggi karena disamping
produktivitas per hektarnya tinggi, pangan tersebut sebagai bahan baku
industri. Dengan keragaman sumber bahan pangan yang dikonsumsi dan dapat
diproduksi di dalam negeri diharapkan dapat menekan impor pangan secara nyata
dan mengurangi ketergantungan pangan dari luar negeri sehingga ketahanan dan
kemandirian pangan nasional semakin mantap.
PERAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS ORGANIK
DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN
Subsidi teknologi yang menjadi bagian
penting dari upaya menciptakan ketahanan pangan yang tangguh, harus
mengutamakan teknologi produktivitas yang ramah lingkungan. Teknologi tersebut
harus telah terbukti memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan
produktivitas dan teruji bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tanaman
pangan tetapi juga mampu menjaga kelestarian produksi dan ramah lingkungan.
Disamping itu teknologi yang diterapkan harus bersifat sederhana, mudah
dimengerti dan dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan secara
utuh dan memiliki kawalan/pendampingan di lapangan untuk menjamin
keberhasilannya.
Sebagai contoh teknologi pupuk hayati
Bio P 2000 Z yang diramu dari kumpulan mikro-organisme indegenus terseleksi
bersifat unggul berguna yang dikondisikan agar dapat hidup harmonis bersama
saling bersinergi dengan kultur mikro-organisme komersial serta dibekali
nutrisi dan unsur hara mikro dan makro yang berguna bagi mikroba dan komoditas
budidaya. Sekumpulan mikro-organisme unggul berguna dikemas dalam pupuk hayati
Bio Perforasi terdiri dari dekomposer (Hetrotrop, Putrefaksi), pelarut
mineral dan phospat, fiksasi nitrogen, Autotrop (fotosintesis) dan mikroba
fermentasi serta mikroba penghubung (seperti Mycorrhiza) yang bekerja
bersinergi dan nutrisi bahan organik sederhana, seperti senyawa
protein/peptida, karbohidrat, lipida, Vitamin, senyawa sekunder, enzim dan
hormon; serta unsur hara makro: N, P, K, S, Ca, dan lainnya berkombinasi dengan
hara mikro: seperti Mg, Si, Fe, Mn, Zn, Mn, Mo, Cl, B, Cu, yang semua unsur
yang disebut di atas diproses melalui cara fermentasi.
Bio Perforasi secara komprehenship membentuk
dan mengkondisikan keseimbangan ekologis alamiah melalui sekumpulan
jasa mikro-organisme unggul berguna yangdikondisikan, bersinergi dengan
mikroba alami indogenus dan nutrisi; dan dengan menggunakan
prinsip “mem-bioperforasi“ secara alami oleh zat inorganik, organik
dan biotik pada mahluk hidup (seperti tanaman) sehingga memacu dan/atau
mengendalikan pertumbuhan dan produksinya. Ternyata dengan sistem demikian
masalah tersumbatnya produksi komoditi pertanian dapat dipecahkan (Mashar,
2000).
Melalui jasa mikro-organisme unggul yang
sebelumnya telah dikondisikan terhadap lingkungan tumbuh kembang tanaman serta
dibekali nutrisi dan unsur hara, faktor pembatas produksi dan kendala tumbuh
asal tanah dan lingkungan dapat direndam sehingga tanaman dapat dipacu
berproduksi tanpa menggangu hasil rekayasa konstelasi genetik yang telah
dimiliki tanaman sebelumnya. Hal ini seiring dengan tujuan meningkatkan
produktivitas hasil dari tanaman varietas unggul yang memiliki potensi genetik
tinggi seperti padi Hibrida, PTB dan padi unggul lain yang akan dikembangkan
untuk daerah-daerah kritis lebak rentan cekaman kesuburan tanah yang labil.
Seperti daerah transmigrasi Penggunaan mikroba Bio P 2000 Z secara teratur dan
sesuai anjuran ternyata mampu mendongkrak potensi produksi tanaman yang
bersangkutan melebihi referensi Genetik yang dimilikinya dan cekaman anasir
penghambat dalam tanah.
Keunggulan penerapan teknologi Bio
Perforasi pada padi adalah meningkatnya produktivitas dan kualitas beras. Pada
padi unggul nasional memacu bertambahnya anakan produktif rata-rata 19 – 35
anakan dan kuatnya perakaran (gambar A), tahan rebah dan serangan penggerek
batang; malai lebih besar (berisi) sehingga dibanding tanpa Bio P2000Z pada
volume gabah kering giling (GKG) yang sama rendemen meningkat 30% – 40%. Karena
proses keseimbangan hara ini beras lebih jernih dan tidak mudah remuk/patah
saat digiling.
No comments:
Post a Comment