BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Manusia
dilahirkan di dunia ini dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun
dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat
laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan
pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Fisik
atau jasmani manusia baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan
dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan berfungsi jika kematangan
dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian
perkembangannya. Kemampuan itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan
melalui pentahapan. Demikian juga perkembangan agama pada diri anak.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang ada dalam makalah ini
antara lain :
1. Kapan
timbulnya
jiwa keagamaan pada anak?
2. Bagaimana
proses timbulnya kepercayaan kepada
tuhan dalam diri anak?
3. Bagaimana
tahapan
perkembangan beragama pada anak?
4. Apa saja faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak?
5. Bagaimana
sifat-sifat
agama pada anak?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan
penulisan makalah ini agar mahasiswa(i) memahami tentang:
1. Timbulnya
jiwa keagamaan pada anak
2. Proses timbulnya kepercayaan kepada
tuhan dalam diri anak
3. Tahapan perkembangan
beragama pada anak
4. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak
5.
Sifat-sifat agama pada anak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Timbulnya Jiwa
Keagamaan pada Anak
Perkembangan
jiwa beragama pada anak – anak umumnya adalah perkembangan yang masih awal,
tetapi sebenarnya sebelum masa anak- anak pun seorang anak telah mendapatkan
sebuah pendidikan tentang keagamaan, yaitu dalam kandungan, masa pranatal dan
masa bayi. Walaupun pada saat itu penerimaan pendidikan agama itu belum dapat
diberikan secara langsung misalnya dalam kandungan, seorang janin hanya bisa
menerima rangsangan atau respon dari sang ibu, ketika ibu sedang sholat mungkin
atau mengerjakan perintah – perintah agama lainnya, begitu juga pada saat bayi
dilahirkan, ia hanya menerima rangsangan dari luar misalnya pada saat sang bayi
di azan kan. nah dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa masa anak – anak bukan
lah masa yang paling awal mendapatkan pendidikan keagamaan[1].
Dari
mana timbulnya jiwa keagamaan pada anak? Sekolompok ahli yang berpendapat bahwa
timbulnya jiwa keagamaan itu dari lingkungan, karena anak dilahirkan bukanlah
sebagai makhluk yang religious. Menurut pendapat ini, anak yang baru dilahirkan
lebih mirip binatang dan bahkan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan
daripada bayi manusia itu sendiri. Pendapat ini lebih melihat manusia
dipandang dari segi bentuknya, bukan dari segi kejiwaannya.
Ada
pula sekolompok ahli yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa
fitrah keagamaan. Namun fitrah ini baru berfungsi dikemudian hari setelah
melalui proses bimbingan dan latihan.
Apakah fitrah beragama akan
berkembang tanpa bimbingan? Tentu tidak, hal ini sesuai dengan prinsip
pertumbuhan “bahwa anak menjadi dewasa, termasuk dalam bidang agama memerlukan
bimbingan”.
B.
Proses Timbulnya Kepercayaan Kepada Tuhan Dalam Diri Anak
Menurut
Zakiyyah Darajat, anak mulai mengenal Tuhan melalui
proses:
1.
Melalui
bahasa, yaitu dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang pada
mulanya diterimanya secara acuh tak acuh.
2.
Setelah
itu karena melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap
Tuhan, maka mulailah timbul dalam diri anak rasa sedikit gelisah dan ragu
tentang sesuatu yang haib yang tidak dapat dilihatnya itu (Tuhan).
3.
Rasa
gelisah dan ragu itu mendorong anak untuk ikut membca dan mengulang kata Tuhan
yang diucapkan oleh orang tuanya.
4.
Dari
proses itu, tanpa disadari anak lambat laun “pemikiran tentang Tuhan” masuk
menjadi bagian dari kepribadian anak dan menjadi objk pengalaman agamis.
Jadi pada awalnya Tuhan bagi
anak-anak merupakn nama dari sesuatu yang asing yang tidak dikeenalnya, bahkan
diragunakan kebaikannya. Pada tahap awal ini anak tidak mempunyai perhatian
pada Tuhan, hal ini dikarenakan anak belum mempunyai pengalaman yang mempunyai
pengalaman yang membawanya kesana (baik pengalaman yang menyenangkan atau
pengalaman yang menyusahkan).
Perhatian anak pada Tuhan tumbuh dan
dan berkembang setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya
tentang Tuhan yang disertai oleh emosi dan perasaan tertentu.
Bagaimana pengalaman awal anak-anak
tentang Tuhan?
Menurut Zakiyyah Darajat, pengalaman awal anak-anak tentang
Tuhan biasanya tidak menyenangkan, karena Tuhan merupakan ancaman bagi
integritas kepribadiannya. Oleh sebab itu maka perhatian anak tentang Tuhan
pada permulaannya merupakan sumber kegelisahan atau ketidaksenangannya. Hal
inilah yang menyebabkan anak sering bertanya tentang zat, tempat dan perbuatan
Tuhan. Pertanyaan itu betujuan untuk mengurangkan kegelisahannyaa. Lalu
kemudian sesudah itu timbul keinginan untuk menentangnya atau mengingkarinya.
Jadi, pemikiran tentang Tuhan adalah
suatu pemikiran tentang kenyatan luar, sehingga hal itu disukai oleh anak.
Namun untuk melanjutkan pertumbuhan
dan menyesuaikan diri dengan kenyataan itu, anak harus menderita dan
mendapatkan sedikit pengalaman pahit, sehingga akhirnya ia menerima pemikiran
tentang Tuhan setelah diingkariya[2].
Menurut Teori Freud, Tuhan bagi anakanak tidak lain adalah
orang tua yang diproyeksikan. Jadi Tuhan pertama anak adalah orang tuanya. Dari
lingkungan yang penuh kasih saying yang diciptakan olh orang tua, maka lahirlah
pengalaman keagamaan yang mendalam.
C. Tahap Perkembangan Beragama pada Anak
Sebagai makhluk Tuhan, potensi
beragama sudah ada pada manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa:
“Dorongan untuk mengabdi kepada sang pencipta”. Dalam konsep Islam dorongan ini
dikenal dengan istilah “Hidayat al
Diniyyah” yang berupa benih-benih keberagaman yang dianugerahkan Tuhan
kepada manusia. Potensi inilah yang menyebabkan manusia itu menjadi makhluk
beragama.
Apakah secara empiris manusia itu
memiliki potensi beragama?
Ya, ini dapat dibukikan dari hasil
kajian yang dilakukan:
1. Edward B. Taylor (Kajian antropologi budaya)
Dia menyebut potensi beragama itu dengan istilah “believe in spiritual being = kepercayaan
kepada adi kodrati”. Dorongan ini merupakan kepercayaan/agama pada manusia.
Menurut Taylor, kenyataan adanya “Believe in spiritual
being“ ini ditemukan pada
suatu kehidupan yang primitif. Karena kemampuan berfikirnya masih bersifat
anthromorphistis, maka kepercayaan kepada adi kodrati itu diwujudkan dalam
bentuk benda konkrit seperti patung dll.
2. Stanley Hal
Dia menemukan adanya kecenderungan kepercayaan kepada adi
kodrati itu dalam konsep “Totemisme”pada suku Indian. Totem ini pada
suku Indian dianggap sebagai binatang yang dipercaya sebagai reinkarnasi
leluhur nenek moyang mereka. Binatang ini kemudian dianggap suci dan menjadi
lambang ritual keagamaan suku tersebut.
Kentalnya ketertarikan suku Indian
kepada konsep totemisme ini menyebabkan:
a.
Beberapa
suku mengaitkan klan (suku) mereka dengan binatang ini.
b.
Nama
binatang totem sering diletakkan dibelakang dari masing-masing suku
Sebagai
sebuah potensi, lantas bagaimana perkembangan potensi beragama tersebut?
1.
Berdasarka
hasil penelitian Ernst Harms Perkembangan beragama pada anak-anak melalui
beberapa fase:
a. Tingkat dongeng (the
fairy tale stage, 3 – 6 tahun)
1)
Konsep
mengenai Tuhan dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
2)
Anak
menanggapi agama masih menggunakan konsep fantastic yang diliputi oleh
dongeng-dongeng.
3)
Perhatian
anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajaran agamanya.
4)
Cerita
keagamaan akan menarik perhatiannya jika dikaitkan dengan masa kanak-kanaknya.
5)
Padangan
teologis, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual,
emosional dan spontan.
b. Tingkat kepercayaan (the
realistic stage)
1)
Ide-ide
anak tentang Tuhan telah tercermin dalam konsep-konsep yang realistic.
2)
Ide
keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, sehingga mereka dapat
melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
3)
Anak
mulai tertarik dan senang pada lembaga keagamaan.
4)
Pemikiran
anak tentang Tuhan sebagai Bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta.
5)
Hubungan
dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan
menggunakan logika/akal.
6)
Dalam
padangan anak, Tuhan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semesta.
c. Tingkat Individu (the
individual stage, usia remaja)
1)
Pada
tingkat ini anak tlah memiliki kepekaan mosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka.
2)
Konsep
keagamaan yang individualis ini dibagi kepada tiga golongan:
3)
Konsep
ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif yang masih sebagian kecil
dipengaruhi oleh fantasi.
4)
Konsep
ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat
personal.
5)
Konsep
ke-Tuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis
dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama[3].
2.
Menurut Imam Bawani perkembangan agama pada masa anak-anak dibagi
menjadi 4 bagian:
a. Fase dalam kandungan
Pada fase ini perkembangan agama
dimulai sejal Allah meniupkan ruh pada bayi, yaitu ketika perjanjian antara ruh
manusia dengan Tuhan (al-A’raf ayat 172).
b. Fase bayi
Pada fase ini belum banyak diketahui
perkembanan beragama ana, namun isyarat mengenalkan ajaran agama banyak ditemukan
dalam hadist, seperti anjuran mengazankan atau mengikamatkan ketika anak baru
lahir.
c. Fase anak-anak
Anak mengenal Tuhan melalui ucapan
dan perilaku orang dewasa yang mengungkapkan rasa kagum pada Tuhan.
Anak mempunyai pemahaman dalam
melaksanakan ajaran agama.
Tindakan keagamaan anak didasarkan
pada peniruan
d. Fase anak prasekolah
Perkembangan keagamaan anak
menunjukkan perkembangan yang semakin realistik[4].
3.
Menurut
Zakiyyah Darajat, perkembangan perasaan anak pada Tuhan dapat dibedakan dalam 2
bagian:
a. Usia sebelum 7 tahun
1)
Perasaan
anak pada Tuhan adalah negatif, yaitu takut, menentang dan ragu.
2)
Pada
usia ini anak berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan
Tuhan, sedangkan gambarannya terhadap Tuhan sesuai dengan emosinya.
3)
Dalam
pandangan anak bersembunyi Tuhan (Tuhan tidak dapat dilihat) karena sikap Tuhan
yang negatif, yaitu Tuhan punya niat jahat yang akan dilaksanakannya.
4)
Kepercayaan
anak tentang Tuhan, tempat dan bentuk Tuhan didorong oleh perasaan takut dan
ingin merasa aman.
b. Uisa 7 tahun
keatas
1)
Perasaan
anak pada Tuhan adalah positif, yaitu: cinta dan hormat.
2)
Hubungan
dengan Tuhan dipenuhi oleh rasa percaya dan rasa aman.
3)
Tidak
terlihatnya Tuhan, tidak lagi menyebabkan anak-anak meenjadi takut/gelisah.
4)
Anak
dapat menerima pemikiran tentang Tuhan adalah dalam rangka untuk menenangkan
jiwa dari pertanyaan-pertanyaan, tantangan-tantangan yang kadang tidak dapat
dijawab oleh orang dewasa.
5)
Pada
usia ini anak cenderung menjauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan negatif,
seperti mematikan, menyakitkan, dan mendatangkan bencana. Jadi kebutuhan anak
pada Tuhan tidak sebagai Tuhan yang sangat perkasa bagi alam, tetapi lebih
sebagai seorang bapak yang baik dan menjadi teman baginya.
6)
Kepercayaan
anak pada Tuhan bukanlah merupakan suatu keyakinan, tetapi adalah sikap emosi
dimana “Tuhan adalah pemuasan keebutuhansi anak akan seorang plindung”.
7)
Sampai
kira-kira usia 8 tahun, hubungan anak dengan Tuhan adalah hubungan individual,
yaitu: hubungan emosional antara ia dengan sesuatu yang tidak terlihat yang
dibayangkan cengan cara sendiri.
8)
Sembahyang
bagi anak usia ini adalah untuk minta ampun atas kesalahannya atau untuk
berterima kasih.
9)
Pada
usia ini anak tertarik melakukan aktivitas keagamaan di masjid atau tempat
ibadah lainnya karena ketertarikan pada pakaian seragam yang berwarna-warni.
10)
Pada
usia ini anak cenderung mengikuti pengajian jika teman-temannya juga ikut pengajian[5].
D. Faktor-Faktor
Dominan yang Mempengaruhi Perkembangan Jiwa
Keagamaan pada Anak
1.
Menurut
Teori four wishes yang
dikemukakan oleh perkembangan jiwa keagamaan anak adalah “rasa ketergantungan (sense of defendnce)”
Menurut teori ini, manusia
dilahirkan keduania memiliki empat keinginan:
a.
Security: keinginan untuk mendapatkan perlindungan
b.
New experience: keinginan untuk mendapat pengalaman
c.
Response: Keinginan untuk mendapatkan tanggapan
d.
Recognition: keinginan untuk dikenal
Kerjasama dalam rangka memenuhi
keinginan-keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan,
terutama orang-orang dewasa dalam lingkungannya itu maka terbentuklah rasa
keagamaan pada diri anak.
2.
Instink keagamaan
Pendapat ini dikemukakan oleh Woodworth, menurutnya, bayi
yang dilahirkan sudah memiliki instink, diantaranya instink keagamaan, namun
instink ini pada saat bayi belum terlihat, hal itu dikarenakan “beberapa fungsi
kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna”.
Pandangan Woodworth ini mendapat sanggahan dari sekelompok
ahli dengan mengajukan argumentasi:
a.
Jika
anak sudah memiliki instink keagamaan, mengapa orang tidak terhayati secara
ototmatis ketika mendengar lonceng gereja dibunyikan?
b.
Jika
anak sudah memiliki instink keagaaan, megnapa terdapat perbedaan agama di dunia
ini? Bukankah cara berenang itik dan cara brung membuat sarang yang didasari
pada tingkahlaku instingtif akan sama caranya disetiap penjuru duia ini?[6].
3.
Fitah keagamaan
Pendapat ini berdasarkan konsep
Islam yang didasarkan pada hadist Nabi yang berbunyi:
“Setiap anak dialhirkan dalam
keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, atau
Nasrani aau Majusi”.
Fitrah dalam hadist ini diartikan
sebagai “potensi”. Fitrah ini baru berfungsi dikmudian hari melalui proses
bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap berikutnya[7].
E. Sifat-Sifat Agama pada Anak
Ide keagamaan pda anak tumbuh
mengikuti pola “ideal concept in
authoristy”, artinya konsep keagamaan anak dipengaruhi oleh factor
dari luar diri mereka. Jadi ketaatan anak-anak pada ajaran agama merupakan
dampak dari apa yang mereka lihat, mereka pelajari dan dibiasakan oleh
orang-orang dewasa atau orang tua di lingkungannya.
Berdasarkan konsep itu maka sifat
dan bentuk agama anak-anak dapat dibagi atas:
1. Unreflective
(tidak mendalam)
Hal ini ditunjukkan dengan:
Kebenaran ajaran agama diterima anak
tanpa kritik, tidak begitu mendalam dan sekedarnya saja. Mereka sudah cukup
puas dengan keterangan-keterangan walau tidak masuk akal.
2. Egosenris
Hal ini ditunjukkan dengan:
a.
Dalam
melaksanakan ajaran agama anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya.
b.
Anak
lebih menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
Misalnya: anak berdo’a/sholat yang dilakukan utuk mencapai keinginan-keinginan
pribadi.
3. Anthromorphis
Hal ini ditunjukkan dengan:
a.
Konsep
anak dengan Tuhan tampak seperti menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Dengan
kata lain keadaan Tuhan sama dengan manusia, misalnya:
b.
Pekerjaan
Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu berada
dalam tempat yang gelap.
c.
Yurga
terletak dilangit dan tempat bagi orang yang baik.
d.
Tuhan
dapat melihat perbuatan manusia langsung kerumah-rumah mereka seperti layaknya
orang mengintai.
Menurut hasil penelitian Praff, anak
usia 6 tahun menggambarkan Tuhan seperti manusia yang mempunyai wajah, telinga
yang lebar dan besar. Tuhan tidak makan tapi hanya minum embun saja.
Jadi konsep Tuhan dibentuk sendiri
berdasarkan fantasi masing-masing.
4. Verbal
dan ritual
Hal ini ditunjukkan dengan:
a. Menghapal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan.
b. Mengerjakan amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan
5.
Imitatif
Hal ini ditunjukkan dengan:
Anak suka meniru tindakan keagamaan
yang dilakukan oleh orang-orang dilingkungannya (orangtua).
6. Rasa
Heran
Ini merupakn sifat keagamaan yang
terakhir pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan:
Anak mengagumi
keindahan-keindahanlahiriah pada ciptaan Tuhan, namun rasa kagum ini belum
kritis dan kreatif[8].
BAB
III
KESIMPULAN
Agama pada masa anak-anak terbentuk
melalui pengalaman-pengalaman yang diterima dari lingkungan lalu terbentuk
sifat keagamaan pada anak, Woodwort berpendapat bahwa bayi memiliki insting
keagamaan, akan tetapi disanggah oleh pemikir Islam bahwa bayi tidak mempunyai
insting keagamaan melainkan itu merupakan fitrah yang cenderung kearah potensi
keagamaan.
Tahap perkembangan keagamaan pada anak melalui tiga tahapan yaitu tingkat dongeng, tingkat kepercayaan, dan tingkat individu
Sifat Agama pada anak mengikuti pola concept on authority yaitu konsep keagamaan yang dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka (anak) itu sendiri. Memahami sifat agama pada anak berarti memahami sifat agama itu sendiri.Perkembangan jiwa beragama pada anak – anak umumnya adalah perkembangan yang masih awal, tetapi sebenarnya sebelum masa anak- anak pun seorang anak telah mendapatkan sebuah pendidikan tentang keagamaan, yaitu dalam kandungan, masa pranatal dan masa bayi.
Tahap perkembangan keagamaan pada anak melalui tiga tahapan yaitu tingkat dongeng, tingkat kepercayaan, dan tingkat individu
Sifat Agama pada anak mengikuti pola concept on authority yaitu konsep keagamaan yang dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka (anak) itu sendiri. Memahami sifat agama pada anak berarti memahami sifat agama itu sendiri.Perkembangan jiwa beragama pada anak – anak umumnya adalah perkembangan yang masih awal, tetapi sebenarnya sebelum masa anak- anak pun seorang anak telah mendapatkan sebuah pendidikan tentang keagamaan, yaitu dalam kandungan, masa pranatal dan masa bayi.
pada
awalnya Tuhan bagi anak-anak merupakn nama dari sesuatu yang asing yang tidak
dikeenalnya, bahkan diragunakan kebaikannya. Perhatian anak pada Tuhan tumbuh
dan dan berkembang setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya
tentang Tuhan yang disertai oleh emosi dan perasaan tertentu
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaludin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1993..
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Dradjat Zakiah, Ilmu jiwa agama, cetakan ke 17, Jakarta: Bulan Bintang, 2005
Jalaludin, Psikologi Agama, cetakan ke 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Joesafira “Perkembangan Jiwa Beragama Pada Anak - anak”
http://delsajoesafira.blogspot.com/perkembangan-jiwa-beragama-pada-anak-anak.html di akses pada 10/5/2012
Nur Afifa “Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan”
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2184387-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-sikap/#ixzz1uo3RrAXa di akses pada 10/5/2012
No comments:
Post a Comment