BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Kecerdasan
merupakn kemampuan tertinggi yang dimiliki oleh manusia. Tingkat kecerdasan
membantu seseorang dalam menghadapi berbagai permasalahan yang nuncul dalamn
kehidupan. Kecerdasan sudah dimiliki sejak manusia lahir dan terus menerus
dapat dikembangkan hingga dewasa. Pengembangan kecerdasan akan lebih baik jika
dilakukan sedini mungkin sejak anak dilahirkan melalui pemberian stimulasi pada
kelima panca indranya. Kecerdasan merupakn ungkapan dari cara berpikir
seseorang yang dapat dijadikan modalitas dalam belajar. Kecerdasan bagi orang
yang memiliki manfaat yang besar selain bagi dirinya sendiri dan bagi
pergaulannya di masyarakat. Melalui tingkat kecerdasan yang tinggi seseorang
akan semakin dihargai di masyarakat apalagi apabila ia mampu berpkiprah dalam
menciptakan hal-hal baru yang bersifat fenomental. Anak manusia sesuai dengan
kodratnya sebagai makhluk ciptaan tuhan telah dikaruniai sejumlah kemampuan
yang melebihi kemampuan ciptaan tuhan lainnya yang ada dimuka bumi ini.
Kelebihan manusia dibandingkan makhluk lainnya adalah karena manusia mempunyai
akal dan pikiran yang merupakan satu kesatuan hasil kerja otak. Melalui akal pikirannya
inilah manusia menyesuikan diri dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan
diri dan melanjutkan keturunannya, selanjutnya ciri yang paling dominan adalah
manusia mampu mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui proses eksplorasi
dan belajar dari lingkungannya.
1.2 Rumusan
masalah
1.
Hakiakat kecerdasan majemuk.
2.
Teori perkembangan otak.
3.
Paradigma kecerdasan jamak
dalam penddidikan.
4.
Apakah aspek kecerdasan
jamak.
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian
kecerdasan jamak.
2.
Untuk mengetahui teori-teori
perkembangan otak.
3.
Untuk mengetahui paradigma
kecerdasan jamak dalam pendidikan.
4.
Untuk mengetahui aspek-aspek
kecerdasan jamak.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Pengertian
Kecerdasan Jamak
Kecerdasan
merupakn kemampuan tertinggi yang dimiliki oleh manusia. Tingkat kecerdasan
membantu seseorang dalam menghadapi berbagai permasalahan yang nuncul dalamn
kehidupan. Kecerdasan sudah dimiliki sejak manusia lahir dan terus menerus
dapat dikembangkan hingga dewasa. Pengembangan kecerdasan akan lebih baik jika
dilakukan sedini mungkin sejak anak dilahirkan melalui pemberian stimulasi pada
kelima panca indranya.
Kecerdasan merupakn ungkapan dari
cara berpikir seseorang yang dapat dijadikan modalitas dalam belajar.
Kecerdasan bagi orang yang memiliki manfaat yang besar selain bagi dirinya
sendiri dan bagi pergaulannya di masyarakat. Melalui tingkat kecerdasan yang
tinggi seseorang akan semakin dihargai di masyarakat apalagi apabila ia mampu
berpkiprah dalam menciptakan hal-hal baru yang bersifat fenomental.
Gardner seorang profesor bidang
pendidikan di Harvard University, tidak memandang kecerdasan manusia berdasarkan skor semata dan bukan
sesuatu yang dapat dilihat atau dihitung, melainkan dengan ukuran kemampuan yang diuraikan sebagai berikut.
(1) kemampuan untuk menyelesaikan masalah; (2) kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk dipecahkan; (3) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau memberikan pernghargaan untuk budaya seseorang.
(1) kemampuan untuk menyelesaikan masalah; (2) kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk dipecahkan; (3) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau memberikan pernghargaan untuk budaya seseorang.
Penelitian
Gardner telah meruntuhkan dua asumsi umum tentang kecerdasan, yaitu kecerdasan
manusia bersifat satuan dan bahwa setiap individu dapat dijelaskan sebagai
makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat diukur dan tunggal ( Campbel,
Campbel, dan Dickinson, 2002:3). Dalam studinya tentang kecerdasan manusia
ditemukan bahwa pada hakikatnya:
(1)
Setiap manusia memiliki delapan
(kemudian ditambahkan dua menjadi sepuluh walaupun masih bersifat hipotesis)
spektrum kecerdasan yang berbeda-beda dan menggunakannya dengan cara-cara yang
sangat individual;
(2)
Setiap orang dapat mengembangkan kesemua
kecerdasan sampai mencapai suatu tingkat yang memadai; serta
(3)
Setiap kecerdasan bekerja sama satu sama
lain secara kompleks karena dalam tiap kecerdasan ada berbagaia cara untuk
menumbuhkan salah satu aspeknya (
Kecerdasan
jamak (multiple intellegence) adalah
sebuah penilaian yang melihat secara deskriptif bagaimana individu menggunakan
kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu (Gardner,
1999:27-46 ). Pendekatan ini merupakn
alat untuk melihat bagaimana pikiran manusia mengoprasiakan dunia, baik itu
benda-benda yang konkret maupun hal-hal yang abstrak. Bagi Gardner tidak ada
anak yang bodoh atau pinter yang ada anak yang menonjol dalam salah satu atau
beberapa jenis kecerdasan
Berdasarkan
pendapat tersebut, hendaknya orang tua dan guru selayaknya harus jeli dan
cermat dalam menilai dan menstimulasi kecerdasan anak dalam sebuah rancangan
proses pembelajaran bagi anak usia dini. Jadi, dasar pemikiran pengembangan
kecerdasan dalam pembelajaran adalah: bukan
berapa cerdasnya seseorang, tetapi dalam hal apa dan bagaimana seseorang
menjadi cerdas.
1.2
Teori
Perkembangan Otak
Anak manusia sesuai dengan
kodratnya sebagai makhluk ciptaan tuhan telah dikaruniai sejumlah kemampuan
yang melebihi kemampuan ciptaan tuhan lainnya yang ada dimuka bumi ini.
Kelebihan manusia dibandingkan makhluk lainnya adalah karena manusia mempunyai
akal dan pikiran yang merupakan satu kesatuan hasil kerja otak. Melalui akal
pikirannya inilah manusia menyesuikan diri dengan lingkungannya untuk dapat
mempertahankan diri dan melanjutkan keturunannya, selanjutnya ciri yang paling
dominan adalah manusia mampu mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui
proses eksplorasi dan belajar dari lingkungannya.
Masa usia dini merupakan awal
perkembangan setelah anak dilahirkan ke dunia ini. Banyak pakar perkembangan
menyakini bahwa masa ini merupakan masa keemasan untuk melakukan stimulkasi
fungsi otak melalui berbagai aktivitas yang dapat menstimulasi organ
pengindraan berupa kemampuan visual, auditori, dan motorik.
Mengutip
pendapat clark dalam semiawan (2002:13), ketika dilahirkan otak seorang anak
manusia telah membawa potensi yang terdapat di dalam 100-200 milyar sel neuron
yang tersimpan diotaknya. Setiap sel neuron tersebut ditumbuhkembangkan untuk
mermperoses beberapa triliyun informasi. Selama masa perkembangannya otak terus
mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan stimulasi yang diterima melalui
seluruh panca indra, hal ini pulalah yang akan mempengaruhi tingkat kecerdasan,
kepribadian, dan kualitas hidup seorang anak. Selanjutnya Adree dalam Jalal
(2005:34) menyatakan bahwa pada hakikatnya otaklah yang menentukan perilaku,
otak yang menetrukan kepribadian, dan otak yang menyimpan ingatan pengalaman.
Dengan perkataan lain otak dan sistem saraf merupakan suatu perangkat yanag
memproduksi dan mengatur seluruh kegiatan tubuh.
Berkat kemampuan
otaknya, manusia dapat menjalanankan fungsi fisik dan psikososialnya dan dapat
lebih meningkatkan kemampuan tersebut melalui kegiatan belajar Yang merupakan
interaksi dengan lingkungannya baik sengaja atau pun tidak sengaja. Otak
terbagi menjadi dua bagian, yaitu belahan otak kiri dan kanan. Masing-masing
belahan otak mempunyai fungsi yang berbeda, belahan otak kiri mempunyai fungsi
yang bersifat logis, analitis, bertahap, berpikir, konvergen, mengarah pada
satu jawaban ya/tidak atau benar/salah, serta rasional; sedangkan belahan otak
kanan mempunyai fungsi intuitif,
bolistic, gestalt, nonlinier, berfikir divergen, mengarah ppada jawaban
yang menyebar/toleran terhadap kedwiartian, dan irrasional (semiawan,
2002:21-22).
Menurut Dennison
dan Dennison (2004:1-2) setiap belahan otak terdiri dari lobus depan yang yang
berfungsi untuk berfikir, lobus samping berfungsi untuk mendengar dan Setiap individu
memiliki cara yang berbeda untuk mengembangkan berbagai kecerdasan yang ada
dalam dirinya. Untuk itulah dalam proses pendidikan dan pembelajaran khususnya
setiap anak harus mendapat perlakuan yang berbeda sesuai dengan potensi
kecerdasannya masing-masing. Untuk hal ini dikenal adanya istilah “the right
man on the right place“. Artinya, seorang anak akan dapat belajar bidang
pengembangan apapun apabila ia diberi kesempatan untuk mempelajarinya sesuai
dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sangat mungkin seorang anak belajar
matematika melalui kecerdasan linguistiknya. Caranya adalah dengan
menerjemahkan soal-soal matematika tersebut menjadi kalimat-kalimat dalam soal
cerita dan bukan sekedar angka-angka dalam logika matematika. fungsi bahasa,
lobuas atas berfunhgsi untuk Pusat rasa dan gerak, serta lobus belakang
berfungsi untuk penglihatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa pusat-pusat otak akan
terangsang melalui indra yng mengalirkan aliran listrik kepusat-pusat otak
melalui serabut-serabut sarafnya. Dalam kehidupan, otak merupakan organ yang
memilki fungsi vital, yaitu mengatur fungsi organ-organ tuybuh lainya (high brain function) yang berfungsi
untuk berfikir, emosi, belajar dan mengerti tentang apa yang dilihat, didengar,
dilakukan, serta fungsi sosial (social
brain function) berupa respon adequate
terhadap lingkungan dan situasi yang berubah-ubah.
Berdasarkan
hukum perkembangan otak, diketahui bahwa apabila otak diberi rangsangan melalui
stimulasi yang masuk melalui panca indra maka otak itu akan terus bekerja dan
sebaliknya apabila otak tidak dirangsang
maka akan dimusnahkan. Berkaitan dengan hal tesebut stimulasi otak pada
anaak usia dini mengacu pada proses kerja ota, yaitu mengindra segala sesuatu
yang ada dilingkungan melalui seluruh alat-alat indra kemudian melalui
serabut-serabut otak menjadi gelombang listrik dan disimpan dallam otak menjadi
memri atau ingatan yamng kamudian dapat memunculkan kembali persis seperti
aslinya.
Semiawan (2002:49) berpendapat
selama lima tahun pertama kehidupan seorang anak otak berkembng dengan pesat,
terlebih lagi pada usia 2-5 tahun yang seringkali diistilahkan dengan masa
kritis pertama. Keberfungsian otak anak merupakan hasil interaksi antara pola cetak biru (blue print) yang bersifat ginetik dengan
lingkungan. Sehubungan dengan potensi kecerdasan yang dibawa anak sejak lahir
tindaklah akan berarti apa-apa apabila lingkungan tidak memberikan stimulus.
Bahkan di dalam perkembangaannya, otak yang selalu diberi stimulus akan semakin
memperbanyak dan memperkuat jaringan sel neuronnya dan sebaliknya apabila tidak
mendapatkan stimulus maka pertumbuhan otak akan berhenti sama sekali.
Berhubungan
dengan pengembangan programkegiatan bermain, kajian tentang otak yang dipentingkan
adalah tentang ketetampilan otak yang berhubungan dengan cara berpikir dan
peranan otak dalam peristiwa belajar. Berpikir adalah kegiatan otak yang
menghubungtkan antara informasi yang tetrsimpan (ingatan), antara ingfatan dan
informasi yang baru atau antara informasi baru yang diterima. Kegiatan ini
terdiri atas mengaitkan, mengatur, menguraikan, menggabungkan,
menilai,mengkaji, mengukur, menghitung, mengabstraksi, merencana, mengoreksi,
mmembuat keputusan, dan menyimpulkan. Pada masa usia dini ingatan pertama yang
berkembang adalah ingatan mengenali (recognizing
memori), mengenali sesuatu yang pernah diindranya. Selanjutnya ingtatan
jangka panjang (longterm memory) yang
dapat dikeluarkan, ditukil atau dacak (retrive
and recall) berkembang secara perlahan. Mula-mula hanya berlangsung
sebentar, perlahan-lahan menjadi ingatan jangka panjang yang dapak diacak
sewaktu-waktu bila diperlukan (Jalal, 2005:18-19).
Peristiwa belajar merupakn proses
perubahan tingkah laku yang yterjadi sepanjang waktu sebagai hasil dari
pengalaman. Dengan perkataan lain belajar adalah kegiatan untuk mendapatkan
kemampuan dan pengetahuan yang pada mulanya didapat oleh setiap anak melalui
panca indra. Belajar dimungkinkan karena otak dapat menyimpan pengalaman dalam
ingatan jangka panjang. Belajar dilakukan dengan mengindra, meniru, melakukan,
menyesuiakan diri terhadap lingkungan, dan mengubah lingkungan. Beljar merupakn
proses yang selayaknya dilakukan sedini mungkin bahkan semenjak janin masih
dalam kandungan.
Nash dalam Madeleine
(1994:4) menyatakan bawa belajar juga berkaitan erat dengan kecerdasan;
berdasarkan hasil penelitian dikatakn bahwa untuk memaksimalkan tingkat
kecerdasan perlu dilakukan rangsangan-rangsangansejak pertama masa
kehidupannya. Dennison dan Dennison (2004:3) yang terkenal dengan temuannya
tentang brain gyms, mengemukakan tiga
hal yang diberikaitan dengan belajar, yaitu (1) kegitan belajar adalah kegitan
yang alami dan menyenangkan yang terus terjadi sepang hidup, (2) kesulitan
belajar adalah ketidakmampuan mengatasi stress dan keraguan dalam menghadapi
tugas yang baru, (3) semua orang akan mengalami”kesulita belajar” selama manusia belajar untuk tidak bergewrak.
Anak yang sehat mengetahui kapan mereka mempunyai masalah dan meminta bantuan
dengan menunjukkan perilaku tertentu. Tidak ada anak yang malas, menarik diri,
agresif atau pemarah, kecualai mereka yang tidak mendapat cara belajar yang
alami. Bila diberi kesempatan untuk bergerak dengan cara mereka sendiri,
anak-anak mampu menyelesaikan proses belajarnya, selanjutnya dengan dukungan
dan ijin bergerak scara positif di dalam kelas, anak dapat mengembangkan
kemampuan intelegensinya yang unik dan lengkap dengan cara alami sehingga
mereka tidak akan terlambat lagi melainkan merasa bebas untuk belajar.
berdasarkan
paparan diatas, dapat disimpulkan belahan otak dapat distimulasi sesuai dengan
fungsi masing-masing belahan, keterkaitan
ini dengan kecerdasan jamak, yaitu belahan otak kiri berhubungan dengan
pengembangan kecerdasan linguistik, logika matematika, visual spasial, dan
kinestetik; sedangkan belahan otak kanan berhubungan dengan pengembangan
kecerdasan interpersonal, intrapersonal, musikal, naturalis, dan spiritual.
Pada dasarnya
keberfungsiaan dari kedua belahan otak tersebut tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya, tetapi keduanya dapat saling berkaitan. Artinya
paerkembangan belahan otak kanan akan akan mempengaruhi perkembangan belahan
otak kiri dan Setiap
individu memiliki cara yang berbeda untuk mengembangkan berbagai kecerdasan
yang ada dalam dirinya. Untuk itulah dalam proses pendidikan dan pembelajaran
khususnya setiap anak harus mendapat perlakuan yang berbeda sesuai dengan
potensi kecerdasannya masing-masing. Untuk hal ini dikenal adanya istilah “the
right man on the right place“. Artinya, seorang anak akan dapat belajar bidang
pengembangan apapun apabila ia diberi kesempatan untuk mempelajarinya sesuai
dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sangat mungkin seorang anak belajar
matematika melalui kecerdasan linguistiknya. Caranya adalah dengan
menerjemahkan soal-soal matematika tersebut menjadi kalimat-kalimat dalam soal
cerita dan bukan sekedar angka-angka dalam logika matematika. sebaliknya.
Pengembangan program kegiatan bermain bagi anak usia dini haruslah dengan
mengembangkan kedua belahan otak manusia melalui pengembangan secara konkret
kecerdasan jamak melalui berbagai kegiatan bermain
Pada masa perkembangannya, otak haruslah mendapat perangsangan dan
pemprograman
yang baik dan seimbang. Pemograman yang tidak tepat bahkan
salah pada masa usia dini dapat berakibat buruk pada perilaku dimasa dewasa. Artinya pengalaman anak di waktu kecil berpengaruh besar dan berdampak bagi perkembangan selanjutnya dalam
membentuk dan menetapkan fungsi dari struktur-struktur otak yang
bersangkutan
1.3
Paradigma
Kecerdasan Jamak dalam Pendidikan
Pandangan
terkini menunjukkan bahwa manusia memiliki berbagai kecerdasan yang terdapat
dalam dirinya, hanya tidak semua kecerdasan tersebut dapat berkembang sehingga menjadi keunggulan dari dirinya. Semiawan (2002:125-127) menyatakan bahwa adanya perbedaan individu dalam hal kemampuan bawaannya menyebabkan setiap individu memiliki satu atau dua kecerdasan yang dapat
diunggulkan dari dalam dirinya. Kecerdasan yang khusus tersebut apabila
ditumbuhkembangkan secara optimal akan dapat menjadi keunggulan bagi anak
tersebut. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki keberbakatan dalam bidang
musik akan dapat menunjukkan prestasi yang menonjol dalam bidang tersebut
apabila anak diberikan kesempatan untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Setiap
individu memiliki cara yang berbeda untuk mengembangkan berbagai kecerdasan
yang ada dalam dirinya. Untuk itulah dalam proses pendidikan dan pembelajaran
khususnya setiap anak harus mendapat perlakuan yang berbeda sesuai dengan
potensi kecerdasannya masing-masing. Untuk hal ini dikenal adanya istilah “the right man on the right place“.
Artinya, seorang anak akan dapat belajar bidang pengembangan apapun apabila ia
diberi kesempatan untuk mempelajarinya sesuai dengan kecerdasan yang
dimilikinya. Sangat mungkin seorang anak belajar matematika melalui kecerdasan
linguistiknya. Caranya adalah dengan menerjemahkan soal-soal matematika
tersebut menjadi kalimat-kalimat dalam soal cerita dan bukan sekedar
angka-angka dalam logika matematika.
Dalam
perkembangannya konsep kecerdasan jamak telah memberikan implikasi yang
signifikan terhadap perkembangan dunia pendidikan. Seiring dengan keyakinan
Gardner bahwa semua manusia memiliki bukan hanya satu kecerdasan dalam hal ini
intelegensi saja melainkan secara relatif memiliki otonomi berupa seperangkat
kecerdasan maka cara guru membelajarkan anakpun harus memperhatikan keunggulan
pada dimensi dari kecerdasan yang dimiliki oleh anak. Apabila guru dapat
memberikan kesempatan yang berbeda sesuai dengan dimensi kecerdasan yang
dimiliki oleh anak maka besar kemungkinan keberhasilan anak dalam
menuntaskan indikator yang
merupakan hasil belajar
yang diharapkan dapat
dikuasainya. Selain itu, dengan memperhatikan dimensi kecerdasan yang
diunggulkan dari dalam diri setiap anak, berdampak pada strategi pembelajaran
yang digunakan oleh guru.
Dryden dan Vos (1999-347) mengatakan bahwa
sebenarnya dalam beberapa hal orang tua ataupun
guru
mengetahui secara naluriah bahwa anak- anak belajar dengan cara-cara dan
gaya yang berbeda. Hal
ini
dapat diketahui dari ketertarikan satu anak dengan anak lainnya
terhadap suatu aktivitas, ada anak yang menunjukkan keantusiasan yang tinggi tetapi ada pula
yang terlihat seperti tidak memiliki gairah untuk melakukannya.
Sabri (1996:36) mengatakan
bahwa tujuan
penting dalam mengetahui berbagai aspek yang terdapat dalam
kecerdasan
jamak adalah diharapkan para
pendidik dapat memperlakukan
anak sesuai dengan cara-cara dan gaya belajarnya masing-masing. Sebagai
pendidik yang
berpengalaman seringkali ditemui berbagai kekecewaan dalam menghadapi berbagai macam
anak sehingga muncul rasa frustrasi dalam menghadapi mereka. Hal ini wajar, rasa cemas akan
ketidak berhasilan
anak melakukan suatu pelajaran atau pekerjaan akan berdampak terhadap harga diri
anak tersebut.
Samples (1999:75) berpendapat bahwa pemahaman mendalam terhadap kecerdasan
individual masing-masing anak dan gaya belajar mereka akan
membantu para pendidik dalam
menghadapi anak terutama dalam mengajari anak-anak dengan cara yang paling sesuai dengannya atau dengan cara yang paling
mudah
untuk mereka
dapat
menguasai suatu pelajaran atau pekerjaan, menangkap informasi
atau konsep atau berbagai
keterampilan secara lebih cepat.
Gaya belajar adalah cara-cara orang belajar, menyerap dan mengolah informasi untuk mencapai keberhasilan dalam belajar. Gaya belajar inilah
yang akan menjadi
kunci keberhasilan dalam menyerap dan mengolah informasi
yang pada akhirnya akan menentukan kinerja
seseorang baik didunia
persekolahan, dunia kerja
atau
dalam hubungan antarpribadi (Samples,
1999:75).
Rita Dunn dalam DePotter (2002:109-118) seorang pelopor dibidang gaya belajar telah menemukan banyak variabel yang mempengaruhi cara belajar
seseorang, di antaranya dipengaruhi oleh faktor fisik, emosional, sosiologi, dan lingkungan. Gaya belajar inilah yang dapat menjadi modalitas
individu
dalam menyerap dan mengolah informasi. Terdapat dua
kategori utama yang mendasari tentang bagaimana seorang individu belajar, yakni: (1)
modalisme, yaitu bagaimana seseorang menyerap informasi
dengan
mudah; dan (2) dominasi otak, yaitu
cara
dan bagaimana
seseorang mengatur serta mengolah informasi.
Menurut Bandler dan Grinder dalam DePotter (2002:109-118), hampir
semua orang cenderung pada salah satu modalitas belajar yang berperan sebagai
saringan untuk pembelajaran, pemrosesan dan komunikasi; sedangkan Markova
meyakini bahwa orang tidak hanya
cenderung pada satu
modalitas, mereka juga
memanfaatkan kombinasi modalitas tertentu yang memberi mereka bakat
dan kekurangan alami tertentu. Modalitas yang dimiliki oleh setiap individu
dapat dibagi menjadi 3, yaitu visual, auditorial, dan kinestetikal Berikut ini
dipaparkan tentang modalitas yang dimiliki setiap individu.
a. Visual.
Orang dengan modalitas visual belajar melalui apa yang mereka lihat. Modalitas
ini mengakses citra visual yang diciptakan maupun diingat. Individu yang
memiliki modalitas visual dicirikan dengan suka akan keteraturan, memperhatikan
sesuatu secara detil, selalu menjaga penampilan, mengingat dengan gambar atau
dari membaca, dan mengingat apa yang dilihat.
b. Auditorial.
Orang
dengan
modalitas auditorial belajar
melalui
apa yang mereka
dengar. Individu dengan modalitas auditorial biasanya memiliki perhatian yang mudah terpecah, berbicara dengan pola berirama, belajar dengan mendengarkan, menggerakkan bibir dan bersuara saat membaca,
serta
senang berdialog secara internal dan eksternal.
c. Kinestetik.
Orang dengan
modalitas kinestetikal belajar lewat gerakan dan
sentuhan. Individu
dengan modalitas kinestetik biasanya senang menyentuh orang
dan berdiri berdekatan, banyak bergerak, belajar dengan melakukan, menunjukkan tulisan saat membaca, serta
mengingat
sambil berjalan
dan melihat.
Berhubungan
dengan hal tersebut
di atas,
Gardner
(Edu
Dev Center)
menyatakan bahwa ketika seorang anak menunjukkan cara yang unik dalam hal
berpikir dan belajar
maka
mereka tidak boleh hanya diarahkan
pada situasi
tertentu saja seperti memasukkan
mereka
ke kelas-kelas yang lebih memfokuskan pada bahasa dan logika matematika saja.
Untuk itu, teori kecerdasan jamak mengusulkan transformasi utama dalam cara belajar
di lembaga pendidikan
bahwa guru harus dilatih untuk menghadirkan
kegiatan belajar dan
bermain dengan memvariasikan strategi dan metode yang menggunakan musik, belajar koperatif, adanya aktivitas seni, menerapkan
aturan main individu dan kelompok, penggunaan
multimedia,
selalu melakukan inner
reflection, dan banyak lagi yang lainnya
Tantangan
yang dihadapi
dalam penerapan kecerdasan jamak di
lembaga pendidikan
adalah memberikan informasi ini
kepada guru dan pihak administrator sekolah lainnya yang bekerja dengan anak tentang hal ini. Apabila lembaga pendidikan mau
mendesain ulang cara mendidik anak-anak maka setiap anak tentunya akan memiliki kesempatan untuk belajar dalam
cara yang harmonis dengan
pemikiran
unik mereka. Selain itu, ternyata teori kecerdasan jamak memiliki implikasi
yang kuat untuk belajar dan perkembangan
orang dewasa. Banyak orang dewasa menemukan
dirinya
sendiri dalam
pekerjaan yang
tidak dapat digunakan
secara
optimal dari pesatnya perkembangan kecerdasan. Teori
kecerdasan jamak telah memberikan orang
dewasa
cara
baru
dalam kehidupannya, potensi
yang
mereka tinggalkan
di
masa
kecilnya (seperti kecintaan pada seni dan drama) tetapi sekarang memiliki kesempatan untuk
berkembang dengan
kursus, hobi program perkembangan
diri lainnya.
Implikasi dari adanya teori kecerdasan
jamak dalam pendidikan adalah adanya
berbagai
materi, metode,
media/sumber belajar,
dan lingkungan belajar
yang
bervariasi
termasuk juga variasi dalam sistem evaluasi yang dilaksanakan dengan melakukan proses asesmen perkembangan. Mengutip
pernyataan Jamaris (2006:164) asesmen perkembangan anak usia dini merupakan
proses kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengumpulkan data atau
bukti-bukti tentang perkembangan dan hasil belajar anak usia dini. Hasil
kegiatan ini dapat memberikan gambaran tentang apa yang dapat dan yang belum
dapat dilakukan anak dalam lingkup
perkembangan yang sesuai dengan
tingkat usia anak
yang bersangkutan.
1.4
Aspek
Kecerdasan Jamak
Gardner membuat kriteria dasar yang pasti
untuk setiap kecerdasan agar dapat
membedakan talenta atau bakat secara mudah sehingga dapat mengukur cakupan yang lebih
luas potensi
manusia, baik anak-anak maupun orang
dewasa. Gardner pada
mulanya
memaparkan 7 (tujuh) aspek intelegensi yang menunjukkan
kompetensi intelektual yang
berbeda, kemudian menambahkannya menjadi 8
(delapan) aspek kecerdasan, yang terdiri dari kecerdasan linguistik (Word Smart), kecerdasan logika matematika (Number/ reasoning Smart), kecerdasan
fisik/kinestetik (Body Smart), kecerdasan spasial (Picture Smart), kecerdasan musikal
(Musical Smart), kecerdasan intrapersonal (Self Smart), kecerdasan interpersonal
(People
Smart), dan kecerdasan naturalis (Natural Smart) tetapi
dalam paparan ini ditambahkan
menjadi 9 (sembilan), yaitu kecerdasan spiritual.
Kesembilan kecerdasan
tersebut di atas dapat saja dimiliki individu, hanya saja dalam
taraf yang berbeda. Selain itu, kecerdasan ini juga tidak berdiri sendiri, terkadang bercampur dengan kecerdasan yang lain. Atau dengan
perkataan lain dalam keberfungsiannya satu kecerdasan dapat menjadi medium untuk kecerdasan lainnya. Sebagai contoh untuk
menyelesaikan konsep penjumlahan dalam matematika, seorang anak tidak hanya menggunakan kecerdasan logika matematika yang harus berhadapan
deretan angka-angka,
tetapi lebih mudah baginya ketika ia menyelesaikan soal tersebut dengan kecerdasan
linguistiknya di
mana soal tersebut diberikan
dalam bentuk cerita yang lebih mudah untuk
dimengerti olehnya.
Selanjutnya Jasmine
(tanpa tahun:34) menjelaskan bahwa pembelajaran dengan
kecerdasan
jamak sangatlah penting untuk mengutamakan
perbedaan
individual pada anak
didik. Implikasinya
teori dalam proses pendidikan
dan pembelajaran adalah bahwa
pengajar perlu memperhatikan
modalitas kecerdasan
dengan cara menggunakan
berbagai strategi dan pendekatan sehingga anak
akan dapat belajar sesuai
dengan gaya belajarnya
masing-masing.
Terdapat
berbagai model pembelajaran yang dapat dipilih sehingga sesuai dengan cara dan
gaya belajar anak. Hal ini merupakan kekuatan agar anak dapat belajar sesuai
dengan kebutuhan dan yang lebih penting adalah rasa senang dan nyaman dalam
belajar dan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya yang berbeda-beda tersebut (Stefanakis, 2002:2).
Untuk lebih memahami tentang kecerdasan jamak yang dapat
dikembangkan pada diri setiap anak didik maka berikut ini diuraikan berbagai
hal yang berhubungan dengan sembilan kecerdasan tersebut. Adapun urutan
penyajian tidak menunjukkan bahwa satu
kecerdasan lebih unggul dari kecerdasan yang lain.
4.1 Kecerdasan
Linguistik
Amstrong (2002:2) berpendapat bahwa kecerdasan linguistik adalah
kecerdasan dalam mengolah kata atau kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis. Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat berargumentasi,
menyakinkan orang,
menghibur atau mengajar dengan
efektif lewat kata-kata yang diucapkannya. Kecerdasan ini
memiliki empat
keterampilan, yaitu
menyimak, membaca, menulis, dan berbicara.
Campbell, Campbell, dan Dickinson (2002:13-29)
menjelaskan bahwa tujuan
pengembangan kecerdasan linguistik adalah: (1) agar anak mampu berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan baik, (2) memiliki kemampuan bahasa untuk menyakinkan orang lain,
(3)
mampu mengingat dan menghafal informasi, (4) mampu
memberikan penjelasan, serta (5)
mampu untuk membahas bahasa
itu
sendiri.
Sujiono dan Sujiono (2004:285-288) menguraikan bahwa materi program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan kecerdasan linguistic, antara lain abjad, bunyi, ejaan, membaca, menulis, menyimak, berbicara atau berdiskusi dan menyampaikan laporan secara
lisan, serta
bermain games atau mengisi teka-teki silang.
Kiat untuk mengembangkan
kecerdasan linguistik pada anak sejak usia dini, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara
berikut
ini.
· Mengajak anak berbicara
sejak bayi, anak
memiliki pendengaran yang cukup baik sehingga baik sekali
berkomunikasi dan menstimulasi anak dengan mengajaknya berbicara,
·
Membacakan cerita atau mendongeng dapat
dilakukan kapan saja bahkan sejak bayi.
· Bermain mengenalkan huruf-huruf abjad dapat dilakukan sejak kecil, seperti bermain huruf-
huruf sandpaper (amplas), anak belajar mengenali huruf-huruf dengan cara melihat dan menyentuhnya, di samping mendengarkan setiap huruf yang diucapkan oleh orang tua atau guru. Seiring dengan pemahaman anak akan huruf dan penggunaannya, yaitu dengan
bermain kartu
bergambar berikut kosa
katanya.
· Merangkai cerita, sebelum dapat membaca tulisan, anak-anak umumnya gemar
Berdiskusi, berbagai hal di sekitar dapat didiskusikan dengan anak-anak. Bertanya tentang yang ada di
lingkungan sekitar,
misalnya mungkin anak mempunyai
pendapat sendiri
tentang binatang peliharaan di rumah. Apapun pendapatnya, harus
menghargai isi
pembicaraannya.
· Bermain
peran, ajaklah anak
melakukan
suatu adegan seperti
yang
pernah ia
alami,
misalnya saat berkunjung ke dokter. Bermain peran ini dapat membantu
anak mencobakan berbagai peran sosial yang diamatinya.
· Memperdengarkan
dan perkenalkanlah
lagu
anak-anak,
ajaklah anak
ikut
bernyanyi dengan penyanyi yang mendendangkan lagu dari kaset yang diputar. Kegiatan ini sangat
menggembirakan anak,
selain mempertajam pendengaran anak, memperdengarkan lagu
juga menuntut anak untuk menyimak setiap lirik yang dinyanyikan yang kemudian anak
menirukan lagu tersebut dan juga menambah kosa kata dan pemahaman arti kata bagi anak.
4.2 Kecerdasan
Logika Matematika
Amstrong (2002:2) berpendapat bahwa kecerdasan logis-matematis
adalah kecerdasan dalam hal angka dan logika. Kecerdasan ini melibatkan keterampilan mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan
logika atau akal
sehat.
Campbell,
Campbell, dan Dickinson (2002:45-58) menjelaskan bahwa
tujuan materi program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan kecerdasan logika matematika, antara
lain
bilangan, beberapa pola, perhitungan, pengukuran, geometri, statistik,
peluang, pemecahan masalah,
logika, games strategi
dan atau petunjuk grafik.
Sujiono dan
Sujiono
(2004:288-290) menguraikan
cara mengembangkan
kecerdasan
logika matematika pada anak: (1) menyelesaikan puzzle, permainan ular tangga, domino, dan lain-lain. Permainan ini akan membantu anak dalam latihan mengasah kemampuan memecahkan berbagai masalah menggunakan
logika; (2) mengenal bentuk geometri, dapat
dimulai dengan kegiatan sederhana
sejak anak masih bayi, misalnya dengan menggantung
berbagai bentuk geometri berbagai warna; (3) mengenalkan bilangan melalui sajak berirama
dan lagu; (4) eksplorasi pikiran
melalui diskusi dan olah pikir ringan, dengan obrolan ringan,
misalnya mengaitkan pola hubungan sebab-akibat atau perbandingan, bermain tebak-tebakan angka, dan sebagainya; (5) pengenalan pola,
permainan menyusun pola tertentu dengan
menggunakan kancing warna-warni, pengamatan atas berbagai
kejadian sehari-hari sehingga anak dapat mencerna dan
memahaminya sebagai hubungan
sebab akibat; serta (6) memperkaya
pengalaman
berinteraksi
dengan
konsep
matematika,
dapat
dengan
cara
mengikutsertakan anak belanja, membantu mengecek barang yang sudah masuk dalam kereta
belanjaan, mencermati berat ukuran
barang yang kita beli,
memilih dan mengelompokkan sayur-mayur
maupun buah yang akan dimasak.
4.3 Kecerdasan Visual Spasial
Amstrong (2002:3) berpendapat bahwa visual spasial merupakan kemampuan untuk
memvisualisasikan
gambar di dalam pikiran
seseorang atau untuk anak di mana dia berpikir
dalam bentuk visualisasi
dan gambar untuk memecahkan sesuatu masalah atau menemukan
jawaban. Campbell, Campbell dan Dickinson
(2002:112-136) menjelaskan bahwa tujuan
materi program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan kecerdasan
visual spasial, antara lain video, gambar, menggunakan model, dan atau diagram.
Sujiono dan Sujiono (2004:292-295) menguraikan bagaimana cara
mengembangkan
kecerdasan visual spasial pada anak sebagai berikut.
· Mencorat-coret, untuk mampu menggambar, anak memulainya dengan tahapan mencoret
terlebih dahulu. Mencoret yang biasanya dimulai
sejak anak berusia sekitar 18
bulan ini, merupakan sarana
anak mengekspresikan diri. Meski apa yang digambarnya atau
coretannya belum tentu
langsung
terlihat isi pikirannya. Selain
itu,
kegiatan ini juga menuntut
koordinasi tangan-mata anak.
· Menggambar dan melukis. Kegiatan menggambar dan melukis dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dengan biaya yang relatif murah. Sediakan alat-alat yang
diperlukan
seperti kertas, pensil warna, dan rayon. Biarkan anak menggambar atau melukis apa yang
ia
inginkan sesuai
imajinasi
dan kreativitasnya karena
menggambar dan
melukis merupakan ajang bagi anak untuk mengekspresikan diri.
· Kegiatan membuat prakarya atau kerajinan tangan menuntut kemampuan anak
memanipulasi bahan. Kreativitas dan imajinasi anak pun terlatih karenanya. Selain itu,
kerajinan tangan dapat membangun kepercayaan
diri
anak.
· Mengunjungi berbagai tempat, dapat
memperkaya
pengalaman visual
anak seperti mengajaknya
ke museum, kebun binatang,
menempuh
perjalanan alam lainnya.
· Melakukan permainan konstruktif
dan kreatif,
sejumlah
permainan
seperti membangun
konstruksi dengan
menggunakan balok, mazes, puzzle, permainan rumah-rumahan atau
pun peralatan video,
film, peta
atau gambar,
dan
slide.
· Mengatur dan merancang. Kejelian anak untuk mengatur dan merancang, juga dapat di asah dengan mengajaknya dalam kegiatan mengatur ruang di rumah, seperti ikut menata kamar tidurnya Kegiatan seperti ini juga baik untuk meningkatkan
kepercayaan diri anak, bahwa ia mampu memutuskan sesuatu.
4.4
Kecerdasan
Kinestetik
Amstrong (2002:3) berpendapat bahwa kecerdasan fisik adalah suatu
kecerdasan di mana saat menggunakannya seseorang mampu atau terampil menggunakan anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan seperti, berlari, menari, membangun sesuatu, melakukan kegiatan seni, dan
hasta karya.
Campbell, Campbell dan Dickinson (2002:77-96) menjelaskan bahwa tujuan materi
program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan
kecerdasan
fisik antara lain: berbagai
aktivitas fisik, berbagai jenis olahraga, modeling, dansa, menari, body languages. Sujiono dan Sujiono (2004:290-292) menguraikan cara
menstimulasi
kecerdasan fisik pada anak, antara lain
sebagai berikut.
· Menari. Anak-anak pada dasarnya menyukai musik dan tari. Untuk mengasah kecerdasan fisik ini kita dapat mengajaknya untuk menari bersama karena
menari menuntut
keseimbangan, keselarasan gerak tubuh, kekuatan, dan kelenturan otot,
· Bermain peran/drama. Melalui kegiatan bermain peran, kecerdasan gerakan tubuh anak
juga dapat terangsang. Kegiatan ini menuntut bagaimana anak menggunakan tubuhnya menyesuaikan
dengan perannya, bagaimana ia
harus
berekspresi, termasuk
juga gerakan tangan. Kemampuan sosialisasinya pun berkembang karena ia
dituntut dapat berkerja
sama dengan orang lain,
· Latihan keterampilan fisik. Berbagai latihan
fisik dapat membantu meningkatkan
keterampilan motorik anak, tentunya latihan tersebut disesuaikan dengan usia anak. Misalnya, aktivitas berjalan di atas papan. Aktivitas ini dapat dilakukan saat anak berusia
3–4 tahun. Selain melatih kekuatan otot, aktivitas
ini juga membuat
belajar
keseimbangan,
· Olahraga,
Berbagai kegiatan olahraga dapat meningkatkan kesehatan dan juga
pertumbuhan.
Olahraga harus
dilakukan sesuai
dengan
perkembangan
motorik
anak,
seperti berenang, sepak bola mini,
main
tenis, bulu
tangkis
ataupun
senam. Seluruh cabang olahraga
pada
dasarnya merangsang kecerdasan
gerakan tubuh, mengingat
hampir semuanya menggunakan anggota tubuh.
4.5
Kecerdasan
Musikal
Amstrong (2002:3) berpendapat bahwa kecerdasan
musikal ialah
kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara
mempersepsi (penikmat
musik), membedakan (kritikus
musik), mengubah (komposer), dan mengekspresikan (penyanyi). Kecerdasan ini
meliputi kepekaan pada irama, pola titi nada pada melodi, dan warna nada atau warna suara
suatu
lagu.
Campbell, Campbell, dan Dickinson (2002:151-164) menjelaskan
bahwa tujuan materi
program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan
kecerdasan
musikal antara lain mendengarkan musik,
melodi, instrumentalia, dan menyanyi
bersama atau sendiri.
Sujiono dan
Sujiono
(2004:298-300) menguraikan
cara mengembangkan
kecerdasan
musikal pada anak berikut ini.
· Beri kesempatan pada anak didik untuk melihat kemampuan yang ada pada diri mereka, buat mereka lebih percaya diri. Misalnya, langkah pertama beri pertanyaan “siapa yang suka
musik?” dan selanjutnya “siapa yang suka
memainkan alat musik dan bernyanyi?”
setelah itu kembangkan pemahaman anak tentang
music.
· Buatlah kegiatan-kegiatan khusus yang dapat dimasukkan
dan dikembangkan
dalam
kecerdasan musikal, misalnya “career day” di mana para musisi profesional menceritakan “kecerdasan musiknya”, karya wisata di mana anak diajak ke stasiun radio untuk
memutarkan
lagu-lagu,
biografi dari musisi terkenal, paduan suara, dan lain-lain.
· Pengalaman empiris
yang
praktis, buatlah penghargaan terhadap karya-karya yang dihasilkan anak. Seperti buat rak pameran seni
atau buat
pentas seni.
Stimulasi untuk kecerdasan musikal, antara lain dengan: (1) irama, lagu
rap, dan
senandung, meminta anak menciptakan sendiri lagu-lagu, rap,
atau
senandung. Dilakukan dengan
merangkum, menggabungkan, atau menerapkan makna dari yang mereka
pelajari, lengkapi dengan alat musik atau perkusi; (2) diskografi, mencari
lagu, lirik, atau potongan lagu dan mendiskusikan pesan yang ingin disampaikan dari lagu tersebut; (3) konsep
musikal, nada
musik yang digunakan sebagai alat kreatif untuk mengekspresikan konsep,
pola, atau skema pelajaran; serta
(4)
musik suasana, gunakan rekaman
musik yang membangun suasana hati
yang cocok untuk pelajaran atau unit tertentu.
4.6
Kecerdasan Intrepersonal
Amstrong (2002:4) berpendapat bahwa kecerdasan interpersonal
adalah berpikir
lewat
berkomunikasi dan
berinteraksi
dengan orang lain.
Adapun kegiatan yang mencakup
kecerdasan ini adalah
memimpin, mengorganisasi, berinteraksi, berbagi, menyayangi,
berbicara, sosialisasi, menjadi pendamai, permainan kelompok, klub, teman-teman, kelompok, dan kerja sama.
Campbell, Campbell, dan Dickinson (2002:183-196) menjelaskan bahwa tujuan materi program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan
kecerdasan interpersonal antara lain:
belajar kelompok, mengerjakan suatu proyek, resolusi
konflik,
mencapai konsensus,
tanggung
jawab pada diri sendiri, berteman dalam
kehidupan
social, dan atau pengenalan jiwa orang lain.
Sujiono dan Sujiono (2004:297-298) menguraikan bahwa cara mengembangkan
kecerdasan interpersonal pada anak, yakni (1) mengembangkan dukungan
kelompok, (2)
menetapkan aturan tingkah laku, (3) memberi
kesempatan bertanggung jawab di rumah, (4) bersama-sama menyelesaikan
konflik, (5) melakukan
kegiatan
sosial di lingkungan, (6) menghargai perbedaan pendapat antara si kecil dengan teman sebaya, (7) menumbuhkan
sikap ramah dan memahami keragaman budaya lingkungan sosial, dan (8) melatih kesabaran
menunggu giliran berbicara serta mendengarkan pembicaraan
orang lain terlebih
dahulu.
4.7
Kecerdasan Intrapersonal
Amstrong (2002:4) berpendapat bahwa
kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan seseorang untuk berpikir secara reflektif, yaitu mengacu kepada
kesadaran reflektif mengenai
perasaan dan proses pemikiran diri sendiri. Adapun kegiatan yang mencakup
kecerdasan ini
adalah berpikir, meditasi, bermimpi, berdiam diri, mencanangkan tujuan, refleksi, merenung,
membuat jurnal, menilai diri, waktu
menyendiri, proyek yang dirintis sendiri, dan menulis
introspeksi.
Campbell, Campbell, dan Dickinson (2002:204-229) menjelaskan bahwa tujuan materi program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan kecerdasan intrapersonal antara lain
refleks, perasaan, self analysis, keyakinan diri,
mengagumi diri
sendiri, organisasi
waktu, dan
perencanaan untuk masa
depan.
Sujiono dan
Sujiono
(2004:295-297) menguraikan
cara mengembangkan
kecerdasan
intrapersonal
pada anak sebagai
berikut.
· Menciptakan citra positif, “aku anak baik”, “sya anak rajin
membantu ibu”, dan lain-lain.
· Pendidik dapat memberikan
self image
citra
diri
yang
baik
pada anak,
yaitu dengan menampilkan sikap yang hangat namun tegas sehingga anak tetap dapat memiliki sikap
hormat. Selain itu, guru yang juga menghormati dan peduli pada anak didiknya, akan
mendapati bahwa ia lebih mudah menawarkan perhatian, penghargaan, dan penerimaan pada muridnya.
· Ciptakan situasi
dan kondisi
yang
kondusif
suasana
di
rumah dan
sekolah yang mendukung pengembangan kemampuan intrapersonal
dan penghargaan diri anak.
· Menuangkan isi hati dalam jurnal pribadi, setiap anak tentu memiliki suasana hati yang dialaminya pada suatu saat tertentu. Agar anak terbiasa dan
mampu
mencurahkan isi hatinya, beri
kegiatan semisal
mengisi makalah harian. Anak dapat
menuangkan isi hatinya dalam bentuk tulisan atau
pun gambar.
· Bercakap-cakap memperbincangkan kelemahan, kelebihan dan minat anak. Pendidik dapat menanyakan pada anak dengan suasana santai, hal-hal apa saja yang ia
rasakan sebagai kelebihannya dan dapat ia banggakan, serta
kegiatan apa yang saat ini tengah ia minati.
Bantu anak untuk menemukan kekurangan dirinya, semisal sikap-sikap negatif yang
sebaiknya diperbaiki.
· Membayangkan diri di masa datang, lakukan perbincangan dengan anak semisal anak
ingin seperti apa bila
besar nanti, dan apa yang akan dilakukan bila dewasa nanti.
· Mengajak berimajinasi jadi satu tokoh sebuah cerita, berandai-andai menjadi tokoh cerita yang tengah anak gemari, dapat pula orang tua
dan
anak lakukan. Biarkan anak berperan menjadi salah satu tokoh cerita
yang tengah digemari.
Lalu pertanyaan berikutnya, adalah adakah
kecerdasan jamak lainnya. Sejak daftar kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner pada tahun 1983 maka pada penelitian yang
berikutnya dan refleksi dari Gardner dan
koleganya melihat kemungkinan lainnya, di antaranya
kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual
dan
kecerdasan existential Untuk itu maka selanjutnya dipaparkan 2 (dua) dari
3 (tiga) kecerdasan
tambahan tersebut.
4.8
Kecerdasan Naturalis
Amstrong (2002:4) berpendapat bahwa kecerdasan naturalis, yaitu
kecerdasan untuk mencintai keindahan alam melalui pengenalan terhadap
flora dan
fauna yang terdapat di
lingkungan sekitar dan
juga mengamati fenomena alam dan
kepekaan/kepedulian terhadap
lingkungan
sekitar.
Campbell, Campbell, dan Dickinson menjelaskan
bahwa tujuan
materi program dalam
kurikulum yang dapat mengembangkan kecerdasan naturalis antara lain: sains permulaan, ilmu
botani, gejala-gejala alam, atau hubungan antara benda-benda hidup dan tak hidup yang ada di alam sekitar.
Sujiono dan
Sujiono
(2004:300-301) menguraikan
cara mengembangkan
kecerdasan
naturalis pada anak, yaitu: (1) beri
kesempatan pada anak didik untuk mengetahui
kemampuan
yang ada pada dirinya; (2) ceritakan “kondisi akhir”
sebagai keteladanan dan inspirasi bagi
mereka, misalnya: ahli-ahli binatang, para peneliti alam; (3) buatlah kegiatan-kegiatan khusus
yang dapat dimasukan ke dalam kecerdasan
naturalis, misal: “career day” di mana para dokter hewan dan ahli binatang menceritakan tentang „kecerdasan naturalis‟nya; serta (4) karya wisata
ke kebun binatang, pengalaman empiris praktis, misalnya mengamati alam dan makhluk hidup, buat
rak pameran simulasi
ekosistem,
dan buat papan permainan.
Stimulasi bagi pengembangan
kecerdasan naturalis: jalan-jalan di alam terbuka, berdiskusi mengenai apa yang terjadi dalam lingkungan sekitar, membawa hewan peliharaan ke
kelas lalu anak diberi tugas mencatat perilaku
hewan tersebut, kegiatan ekostudi agar anak memiliki sikap peduli
pada alam sekitar. Sebagai contoh pada saat anak belajar menghitung,
ajaklah
anak untuk menghitung spesies hewan yang terancam punah, tentu saja dengan
memakai contoh gambar dengan penjelasan yang dapat
dimengerti.
4.9
Kecerdasan Spiritual
Zohar dan Marshall (2001:3-4) beranggapan bahwa kecerdasan spiritual dapat diartikan
sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai. Kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan dalam memandang makna atau hakikat kehidupan ini sesuai dengan
kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa yang
berkewajiban menjalankan perintahnya dan menjauhi semua
larangannya.
Berhubungan
dengan kecerdasan spiritual bagi anak usia dini, Gutama (2002:40)
menuliskan bahwa kecerdasan spiritual adalah ekspresi pemikiran yang muncul dari dalam
kalbu seorang. Bagi anak,
kesadaran ini akan memacu mereka untuk menemukan dan mengembangkan bakat bawaan, energi, dan hasratnya serta sebagai sumber
motivasi
yang
memiliki kekuatan luar biasa (Gutama, 2002:40).
Selanjutnya Sujiono dan Sujiono (2004:122) menguraikan bahwa materi
program yang dapat dikembangkan mengajarkan doa atau puji-pujian kepada Sang Pencipta, membiasakan
diri untuk bersikap sesuai ajaran agama seperti
memberi salam, belajar mengikuti tata cara
ibadah sesuai dengan
agama yang dianut, mengembangkan sikap dermawan, membangun sikap toleransi terhadap
sesama.
Cara untuk mengembangkan
kecerdasan spiritual pada
anak
usia dini, antara
lain
melalui teladan dalam bentuk nyata yang diwujudkan perilaku baik lisan, tulisan maupun
perbuatan, melalui
cerita atau dongeng untuk menggambarkan perilaku baik-buruk, mengamati berbagai bukti-bukti
kebesaran Sang Pencipta seperti beragam binatang dan aneka
tumbuhan serta kekayaan alam lainnya, mengenalkan dan mencontohkan kegiatan keagamaan secara nyata, membangun sikap toleransi
kepada sesama sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Program stimulasi untuk mengembangkan kecerdasan
spiritual pada anak
usia dini
dapat dilakukan melalui program keteladanan dari orang tua atau orang dewasa sehingga anak
terbiasa untuk meniru perilaku baik yang dilihat,
melalui program pembiasaan agar anak-anak
benar-benar dapat mnginternalisasi suatu
kegiatan, melalui kegiatan spontan berupa
pengawasan terhadap perilaku anak sehari-hari dan melalui pemberian penguatan, dan penghargaan untuk memotivasi anak dalam melakukan berbagai kegiatan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi seorang guru anak usia dini di
kelompok bermain pemahaman tentang teori kecerdasan
jamak itu penting
tetapi
ada hal
yang
lebih
penting
lagi
yaitu bagaimana menerapkan teori tersebut dalam kegiatan belajar sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat
kita ketahui bawah perkembangan otak yang berhubungan dengan 9 kecerdasan
majemuk itu dimana masa usia dini merupakan awal perkembangan setelah anak
dilahirkan ke dunia ini. Banyak pakar perkembangan menyakini bahwa masa ini
merupakan masa keemasan untuk melakukan stimulkasi fungsi otak melalui berbagai
aktivitas yang dapat menstimulasi organ pengindraan berupa kemampuan visual,
auditori, dan motorik.
DAFTAR
PUSTAKA
Sujiono, Yuliani
Nuraini dan Bambang Sujiono. Bermain
Kreatif Berbasis Kecerdasan Majemuk. Jakarta:PT Indeks.2010.
No comments:
Post a Comment