BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN
AGAMA PADA ANAK USIA REMAJA
1.1 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA REMAJA
Dalam pembagian
tahapan perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam
pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa juvenilitas
(adolescantium), pubertas, dan nubilitas.
Masa remaja
disebut juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa anak-anak
dengan masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan perubahan besar dan
esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rokhaniyah dan jasmaniyah. Sejalan
dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama para remaja turut
dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran
agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengna
faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada para remaja
ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan
itu antara lain :[2]
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja
dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis
terhadap ajran agama mulai timbul. Selain masalah agama merekapun sudah
tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan
lainnya.
b. Perkembangna perasaan
Perekembangan telah berkembangna pada masa remaja.
Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati
perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya.
Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih
dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang
mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi
dorongan seksual. Masa remaja merupan masa kematangan seksual. Didorong oleh
perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah
tindakan seksual yang negatif.
c. Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya
pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara
pertimbangna moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu.
Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para
remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
d. Perkembangan moral
Perkembangna moral para remaja bertitik tolak dari rasa
berdosa dan usaha untuk mencapai proteksi. Tipe moral yanh juga terlihat pada
para remaja juga mencakupi:
1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral
berdasarkan pertimbangna pribadi.
2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan
kritik.
3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran
moral dan agama.
4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama
dan moral.
5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan
moral masyarakat.
e. Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh
dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta
lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
f.
Ibadah
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Ross dan
Oskar Kupky menunjukkan bahwa hanya 17 % remaja mengatakan sembahyang
bermanfaat untuk berkomunikasi dengan tuhan, sedangkan 26% diantaranya
menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupan media untuk bermeditasi
Masa
Remaja Pertama (13 – 16 tahun)
Setelah si anak melalui
usia 12 tahun, mereka memasuki masa
goncang, karena pertumbuhan cepat di segala bidang. Pertumbuhan jasmani yang
pada usia sekolah tampak serasi, seimbang dan tidak terlalu cepat, berubah
menjadi goncang.
Semua perubahan jasmani
yang nampak pada usia ini menyebabkan kecemasan pada remaja. Bahkan kepercayaan
kepada agama yang telah tumbuh mungkin juaga mengalami kegoncangan, karena ia
kecewa terhadap dirinya. Maka kepercayaan remaja terhdap tuhan kadang-kadang
sangat kuat, akan tetapi kadang pula menjadi ragu dan berkurang. Hal ini nampak
pada cara ibadahnya yang kadang rajin dan kadang-kadang malas. Perasaannya kepada
tergantung pada perubahan emosi yang sedang dialaminya.
Dalam kondisi yang
demikian hendaknya guru agama memahami keadaan anak yang sedang mengalami
kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang berjalan sangat cepat itu dan
semua keinginan, dorongan dan ketidak stabilan kepercayaan itu. Dengan
pengertian itu, guru agama dapat memilihkan penyajian agama yang tepat bagi
mereka, kegoncangna perasaan dapat diatasi.
Masa
Remaja Akhir (17 – 21 tahun)
Disamping
perkembangan, pertumbuhan dan kecerdasan semakin berkembang, berbagai ilmu
pengetahuan yang bermacam-macam juga diterima oleh anak usia remaja sesuai
dengna keahlian dibidang masing-masing telah memenuhi otak remaja. Di samping
itu semua remaja sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan kesempurnaan
pribadinya, maka mereka juga imgim mengembangkan agama, mengikuti perkembangan
dan alun jiwanya yang sedang tumbuh pesat saat itu. Cara menerima dan
menanggapi pendidikan agama jauh berbeda dengna masa sebelumnya, mereka ingin
agar agama menyelesaikan kegoncangan dan kepincangan-kepincangan yang terjadi
di masyarakat.
Banyak faktor
lain yang menyebabkan kegoncangan jiwa remaja, oleh karenya sebagai seorang
pendidik kita harus dapat memahaminya, agara dapat menyelami jiwa remaja
tersebut, lalu membawa mereka kepada ajaran agama, sehingga ajaran agama yang
mereka dapat betul-betul dapat meredakan kogoncangan jiwa mereka.[3]
1.2 SIKAP REMAJA TERHADAP AGAMA
Setelah
mengetahui faktor-faktor dan unsur-unsur yang memepengaruhi sikap remaja
terhadap agama, maka dapatlah kita bagi sikap remaja tersebut sebagai berikut :[4]
a. Percaya turut-turutan
b. Percaya dengan kesadaran
c. Percaya, tapi agak ragu-ragu (bimbang)
d. Tidak percaya sama sekali atau cenderung kepada atheis
a. Peracaya turut-turutan
Sesungguhnya
kebanyakan remaja percaya kepada tuhan dan menjalankan ajaran agama, karena
mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama, karena bapak ibunya orang
beragama, teman dan masyarakat disekelilingnya rajin beribadah, maka mereka
ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar mengikuti
suasana lingkungan di mana ia hidup. Percaya yang seperti inilah yang dinamakan
percaya turut-turutan. Mereka seolah olah apatis, tidak ada perhatian untuk
meningkatkan agama, dan tidak mau aktif dalam kegiatan kegiatan agama.
Kenyataan
seperti ini, dapat kita lihat lihat dimana-mana sehingga banyak sekali remaja
yang beragama hanya karena orang tuanya beragama. Cara beragama seperti ini
merupakan lanjutan dari cara beragama dimasa kanak-kanak seolah tidaak terjadi
perubahan apa-apa dalam pikiran mereka terhadap agama.
Kepercayaan ini
biasanya terjadi apabila orang tua memberikan didikan agama
dengna cara menyenangkan jauh dari
pengalaman pahit di waktu kecil, dan setelah menjadi remaja tidak mengalami
pula peristiwa atau hal-hal yang menggoncangkan jiwanya, sehingga cara
kekanak-kanakan dalam beragama terus berjalan, tidak perlu ditinjaunya kembali.
Akan tetapi apabila dalam usia remaja, menghadi peristiwa yang mendorongnya
untuk meneliti kembali peristiwa waktu kecilnya maka ketika itu kesadarannya
kaan timbul dan sehingga ia menjadi bersemangat sekali, ragu-ragu atau anti
agama.
Percaya
turut-turutan seperti ini biasanya tidak lama, dan bnyak terjadi hanya pada
masa-masa remaja pertama (13-16 tahun). Sesudah itu biasanya berkembang kepada
cara yang lebih kritis dan lebih sadar.
b. Percaya dengan kesadaran
Setelah
kegoncangan remaja pertama agak reda, yaitu usia sekitar 16 tahun, dimana
pertumbuhan jasmani hampir selesai,kecerdasan juga sudah dapat berfikir lebih
matang dan pengetahuan bertambah. Kesadaran dan semangat agama pada masa remaja
itu mulai dengna cenderungnya remaja dari meninjau dan meneliti kembali caranya
beragama dimasa kecil dulu.
Biasanya
semangat agama itu tidak terjadi sebelum usia 17 atau 18 tahun, dan semangat
agama ini memiliki dua bentuk, yaitu semngat positif dan khurafi.
c. Kebimbangan beragama
Kebimbangan
remaja terhadap agama itu berbeda antara individu satu dengna individu lainnya
sesuai dengna kepribadian masing-masing. Ada yang mengalami kebimbangan ringan
yang dengan cepat dapat diatasi dan ada yang sangat berat sampai pada berubah
agama. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Al-Malighy terbukti bahwa
sebelum usia 17 tahun kebimbangan beragama tidak terjadi. Puncak kebimbangan
itu terjadi antara 17 – 20 tahun.
Sesungguhnya
kebimbangan beragama itu bersangkut paut dengan semangat agama. Kebimbangan
beragama menimbulkan rasa dosa pada remaja. Biasanya setelah keraguan itu
selesai timbullah semangat agama yang berlebihan baik dalam beribadah maupun
dalam mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan yang dapat memperkuat
keyakinannya.
d. Tidak percaya Tuhan (atheis)
Salah satu
perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah mengingkari
wujud tuhan dan menggatinya dengan keyakinan lain. Atau mungkin pula hanya
tidak mempercyai adanya Tuhan secara mutlak.
Ketidak
percayaan yang sungguh-sungguh itu, tidak terjadi sebelum usia 20 tahun.
Mungkin sekali seorang remaja mengalami bahwa ia tidak percaya kepada Tuhan
mengaku bahwa dirinya atheis. Namun jika dianalisis akan diketahui bahwa
dibalik keingkaran yang sungguh-sungguh itu tersembunyi kepercayaan kepada
tuhan.
1.3 KENAKALAN PADA REMAJA
Secara
psikologis maupun sosiologis, remaja umumnya memang rentan terhadap pengaruh
pengaruh eksternal. Karena proses pencarian jati diri yang belum kunjung
berakhir, mereka mudah sekali terombang ambing dan masih merasa sulit
menentukan tokoh panutannya. Mereka juga mudah terpengaruh oleh gaya hidup
masyarakat sekitarnya.
Diberbagai
komunitas dan di kota besar metropolitan, jangan heran jika hura hura, seks
bebas, menhhisap ganja dan zat adiktif lainnya cenderung mudah menggoda para
remaja. Siapakah yang harus dipersalahkan tatkala kita menjumpai remaja yang
terperosok pada perilaku yang menyimpang dan melanggar hukum atau paling tidak
melanggar tata tertib yang berlaku di masyarakat ? dalam hal ini, sejumlah
pandangan dan teori yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan kenakalan
remaja.[5]
1. Toeri differential association
Teori dikembangkan oleh E. Sithedad yang
didasarkan pada arti penting proses belajar. Menurutnya perilaku menympang yang
dilakukan remaja sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Asumsi
yang melandasinya adalah a criminal
act accurs when situasion appropriate for it, as defined by the person, is
present (rose gialombardo; 1972).
2. Teori anomie
Teori ini dikemukakan oleh Robert K.
Merton dan berorientasi pada kelas. Konsep anomie sendiri diperkenalkan oleh
seorang sosiolog perancis yaitu emile durkheim (1983), yang mendefinisikan
sebagai keadaan tanpa normal di dalam masyarakat. Dan keadaan tersebut
menimbulakan perilaku deviasi. Oleh marton konsep ini selanjutnya
diformulasikan untuk menjelaskan keterkaitan antara kelas sosial dengan
kecenderungan adaptasi sikap dan perilaku kelompok.
3. Teori Albert K. Cohen
Fokus teori ini terarah pada sutu
pemahaman bahwa perilaku delinkuaen banyak terjadi di kalangan laki-laki kelas
bawah yang kemudian membentuk geng. Perilaku delinkuen merupakan cermin ketidak
puasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang cenderung
mendominasi. Karena kondisi sosial ekonomi yang ada dipandang sebagai kendala
dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan sesuai dengan keinginan mereka sehingga menyebabkan
kelompok usia muda kelas bawah ini mengalami status frustrasion. Menurut cohen
para remaja umumnyamencari status. Tetapi tidak semua remaja dapat melakukannya
karena adanya perbedaan struktur sosial.
4. Teori Perbedaan Kesempatan dari Cloward dan Ohlin
Menurut mereka terdapat lebih dari satu
cara bagi remaja untuk mencapai aspirasinya. Pada masyarakat irban yang
merupakan wilayah kelas bawah terdapat berbagai kesempatan yang sah, yang dapat
menimbulkan berbagai kesempatan. Denga demikian kedudukan dalam masyarakat menentukan
kemampuan untuk beraspirasi dalam mencapai sukses baik melalui kesempatan
maupun kesempatan kriminal.
5. Teori Netralisasi yang dikembangkan oleh Matza dan Sykes
Menurut teori ini orang yang nelakukan
perilaku menympang disebabkan adanya kecenderungan untuk merasionalkan
norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan kepentingan mereka sendiri.
Penyimpangan yang dilakukan dengan cara mengikuti arus pelaku lainnya melalui
sebuah proses pembenaran (netralisasi).
6. Teori Kontrol
Teori ini beranggapan bahwa individu dalam masyarakat
mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya yakni tidak melakukan
penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik
tidaknya perilaku individu sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya.
Artinya perilaku baik dan tidak baik diciptakan oleh masyarakat sendiri (Hagan,
1987).
1.4 PEMBINAAN AGAMA PADA REMAJA
Semua perubahan
jasmani yang begitu cepat pada remaja menimbulkan kecemasan pada dirinya
sehingga menyebabakan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan kekhawatiran.
Bahkan kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada usia sebelumnya,
mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya. Maka
kepercayaan remaja kepada tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi
kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang, yang terlihat pada cara ibadahnya
yang kadang-kadang rajin kadang-kadang malas, perasaan kepada tuhan tergantung
pada perubahan emosi yang sedang dialaminya, kadang-kadang ia merasa sangat
membutuhkan tuhan, terutama ketika mereka menghadapi bahaya, takut akan gagal
atau merasa dosa. Tetapi ia kadang-kadang tidak membutuhkan tuhan, ketika
mereka mereka sedang senang, riang dan gembira.
Peran seorang
guru agama hendaknya memiliki metode yang cocok dalam melaksanakan pendidikan
agama. Pendidikan agama dapat dilaksanakan dengan berhasil dan berguna apabila
guru agama mengetahui perkembangan jiwa yang dilalui oleh anak remaja,
pertumbuhan anak dari lahir sampai pada masa remaja akhir melalui berbagai
tahap dan masing-masing mempunyai ciri dan keistimewaan sendiri-sendiri. Setiap
tahap merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya, dan akan dilanjutkan apada
tahap berikutnya, yang akhirnya mencapai kematangan. Pendidikan agama harus
memperhatikan ciri dari masing-masing tahap itu dan dapat mengisi serta
mengembangkan kepribadian masing-masing peserta didik.
No comments:
Post a Comment